TRADISI NYADRAN DAN PENYIMPANGANNYA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Akhir
Semester
Mata Kuliah : Aqidah dan Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dede Asikin N,S.Ag
Disusun Oleh :
Nur Rochman : 16.0401.0062
Fakultas Agama
Islam
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAGELANG
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah
SWT meridhoi-Nya. Amin
Makalah
ini membahas
tentang “Tradisi Nyadran dan Penyimpangannya”. Harapan kami, makalah ini dapat
di pahami oleh pembaca. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan juga
pembaca. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang dapat membangun
perbaikan di masa depan.
Magelang,
5 Desember 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat
jawa memiliki berbagai budaya yang sudah
melekat didalamnya. Salah satunya yaitu
tradisi nyadran yang sudah dilakukan oleh nenek moyang dulu dan dilakukan
secara turun temurun. Sebagaimana budaya budaya yang lainnya seperti suranan,
muludan , syawalan dan juga tradisi-tradisi lainnya. Hakikatnya nyadran adalah
do’a yang dipanjatkan kepada tuhan agar di berikan keselamatan dan
kesejahteraan.
Masyarakat selalu senantiasa
menjaga kebudayaan ini dan dijaga
keberlangsungannya, sehingga membentuk suatu tradisi. Dan banyak masyarakat
menganggap bahwa tradisi tersebut menjadi sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan , sehingga dengan melaksanakan nya akan mendapatkan pahala.
Padahal menelusuri dari sejarah
tradisi nyadran sendiri berasal dari ajaran agama hindu . lalu ketika agama
islam masuk di nusantara, dengan akulturasi budaya wali songo sedikit merubah
do’a-do’a yang ada di dalam ritual nyadran. Yang tadinya ritual doa ini
ditunjukan kepada arwah/leluhur nenek moyang akhirnya diganti ditujukan kepada
Allah SWT. Karena dengan cara ini lah islam bisa diterima oleh masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
latar belakang diatas, maka rumusan maslah yang dibahas dalam makalah ini
adalah:
1.
Bagaimanakah sejarah munculnya tradisi
nyadran?
2.
Bagaimanakah tatacara pelaksanaan
nyadran?
3.
Mengapa tradisi nyadran ternasuk
menyimpang dari agama islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya tradisi nyadran
Kata sadran berasal dari bahasa arab yaitu sod’ru yang kemudian
dilafalkan oleh lidah orang jawa menjadi nyadran/nyadran.
Tradisi Nyadran atau biasa disebut dengan Sadranan adalah
sebuah tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Islam
Jawa, terutama sebagian besar masyarakat Jawa Tengah. Nyadran berasal dari
bahasa sansekerta Sraddha yang berarti Keyakinan, dalam bahasa
jawa nyadran berasal dari kata Sadran yang artinya ruwah,
syakban. Tradisi Nyadran atau sadranan ini biasanya dilakukan untuk menyambut
datangnya bulan Ramadhan, yakni berupa seranngkaian upacara Ziarah kubur,
berseh atau membersihkan makam dan mendoakan arwah leluhur atau kerabat yang
sudah meninggal.
Upacara Sraddha ini sudah dilakukan
sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan
Zoetmulder juga mengisahkan upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang
wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke
tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga
dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap
bulan Ruwah.
Langkah itu ditempuh para wali, karena
untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali
dan masuk Islam. Nyadranpun menjadi media siar agama Islam. Selain ritual
nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa
penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan. Batu nisan tersebut sebagai
penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya
bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi
sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus
besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
B.
TATA
CARA PELAKSANAAN NYADRAN
Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap
daerah di Jawa dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan
Jawa umumnya menyelenggaran upacara Nyadran secara umum (komunal) yang
diselenggarakan pada siang hari hingga sore. Masing-masing warga membuat
tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama
mengadakan do’a dan makan bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke
makam dan mengadakan do’a bersama di makam.
Prosesi tradisi nyadran biasanya
dimulai sehari sebelumnya yaitu dengan melakukan kegiatan bersih-bersih kuburan
atau dalam istilah jawa disebut berseh, dan
itu dilakukan oleh kaum laki-laki secara gotong royong bersama masyarakat.
Dihari tepat pelaksanaannya dimulai
dengan dengan memasak makanan yang di perlukan seperti: ingkung ayam, bregedel,
gorengan, krupuk, masakan tahu dan kentang, itu dilakukan sekitar jam tujuh. Sementara
kaum bapak pada waktu yang bersamaan pergi ke kuburan membawa makanan seperti
apem, ketan dan kolak. Di kuburan mereka melakukan do’a bersama. Do’a yang di
bacanya biasanya berupa bacaan tahlilan. Setelah prosesi do’a selesai
dilanjutkan memakan bekal yang di bawanya tadi.
Setelah masakan rumah yang dibuat kaum
ibu sudah jadi, makanan tersebut di letakkan ke dalam piring- piring, kecuali
krupuk dan nasi. lalu di masukkan ke dalam tenong.
Untuk nasinya di buat bentuk kerucut
lalu di masukkan ke dalam wakul. Sekitar jam 8 kaum bapak-bapak pulang untuk
mengambil makanan yang ada di dalam tenong
tadi. Di bawa menuju jalan desa. Biasanya jalan desa di tutup untuk sementara
prosesi nyadran. Dalam hal ini anggota keluarga biasanya untuk diikutkan semua.
Makanan itu di letakkan di jalan yang sudah di beri alas kepang dan daun pisang. Makanan itu di campur dengan makanan warga
yang lainnya. Di sini masyarakat melakukan makan bersama-sama. Tetapi tidak
sampai habis dan sisanya di masukkan kembali untuk di bawa pulang. Inilah puncak
dari prosesi acara nyadran yang ada di masyarakat.
C.
PENYIMPANGAN
TRADISI NYADRAN
Penyimpangan pertama ada pada sejarah
munculnya nyadran itu sendiri yaitu dari agama hindu yang ada di jawa. Sedangkan
kita sebagai seorang muslim tidak boleh mengikuti tradisi yang dimiliki oleh
agama lain.
Dari
Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad
2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan
bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no.
1269)
Dari
‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan
termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR.
Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kenapa
sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ
تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا
نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
“Keserupaan
dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan
amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al
Fatawa, 22: 154).
Di
tempat lain dalam Majmu’ Al Fatawa, beliau berkata,
فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ
كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ
ذَلِكَ ؟!
“Jika
dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka,
bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)
Penyimpangan lainnya juga terdapat pada
prosesi makan-makan di dalam kubur. Di dalam hal ini, Imam as-Syafie
rahimahullah mengharamkannya dan beliau berfatwa:
ويكره …. نقل الطعام الى القبور
“Dimakruhkan (haram) membawa makanan ke kuburan”. (Lihat: الطالبين اعانة (ina’atu at-Tholibin) Juz. 2 hlm. 146)
Haram menyambut Hari Raya di kuburan termasuklah di kubur para nabi, wali atau mana-mana kubur, kerana tidak ada Hari Raya kubur (عيد القبر). Nabi sallallahu ‘alahi wa-sallam bersabda:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ : لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِيْ عِيْدًا
“Dari Abi Hurairah radiallahu ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam: Janganlah jadikan kuburku sebagai tempat berhari raya”. (Hadis Sahih H/R Ahmad 2/367 dan Abu Daud 2042)
Imam Syafie rahimahullah mengharamkan duduk di atas kubur, beliau berlandaskan kepada hadis:
لاَنْ يَجْلِسَ اَحَدُكُمْ عَلَىجَمْرَةٍ ، فَتَحرق ثِيَابَهُ ، فَتخلص اِلَىجَلْدِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْر
“Abu Hurairah berkata: Telah bersabda Rasulullah: Jika salah seorang kamu duduk di atas bara api membakar sampai menembusi pakaianmu lalu membakar kulitnya, masih lebih baik baginya daripada ia duduk di atas kuburan”. (H/R Muslim, 3/62. Abu Daud 3228. Ahmad 2/311. Baihaqi 4/79. Ibnu Majah dan An-Nasaii)
ويكره …. نقل الطعام الى القبور
“Dimakruhkan (haram) membawa makanan ke kuburan”. (Lihat: الطالبين اعانة (ina’atu at-Tholibin) Juz. 2 hlm. 146)
Haram menyambut Hari Raya di kuburan termasuklah di kubur para nabi, wali atau mana-mana kubur, kerana tidak ada Hari Raya kubur (عيد القبر). Nabi sallallahu ‘alahi wa-sallam bersabda:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ : لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِيْ عِيْدًا
“Dari Abi Hurairah radiallahu ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam: Janganlah jadikan kuburku sebagai tempat berhari raya”. (Hadis Sahih H/R Ahmad 2/367 dan Abu Daud 2042)
Imam Syafie rahimahullah mengharamkan duduk di atas kubur, beliau berlandaskan kepada hadis:
لاَنْ يَجْلِسَ اَحَدُكُمْ عَلَىجَمْرَةٍ ، فَتَحرق ثِيَابَهُ ، فَتخلص اِلَىجَلْدِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْر
“Abu Hurairah berkata: Telah bersabda Rasulullah: Jika salah seorang kamu duduk di atas bara api membakar sampai menembusi pakaianmu lalu membakar kulitnya, masih lebih baik baginya daripada ia duduk di atas kuburan”. (H/R Muslim, 3/62. Abu Daud 3228. Ahmad 2/311. Baihaqi 4/79. Ibnu Majah dan An-Nasaii)
Penyimpangan kedua ada pada tidak adanya anjuran yang
diperintahkan oleh rasulullah tentang prosesi-prosesi yang ada di dalam tradisi
nyadran. Misalkan pada saat prosesi berseh
Apabila yang
dibersihkan adalah rumput yang masih hidup /basah maka hukumnya khilaf :
· Menurut
Madzhab Syafi’i tidak boleh dibersihkan .
· Menurut
Madzhab Hanafi boleh dibersihkan tetapi makruh .
Apabila yang
dibersihkan adalah rumput yang sudah kering maka hukumnya boleh
Ibarat :
1. Balaghotut
Thullab
2. Fathul
Mu’in Juz : 2 Hal : 45
( مسئلة ث
) لا تجوز إزالة الحشيش الرطب من المقبرة لأنه مثل جريد المنصوص في الحديث بكونه
يستغفر للميت مادم لارطبا. قلت وهذا عند الشافعية، وعند الحنفية جواز ذلك مع
الكراهة كما نقله إبن عابدين في حاشية رد المختارعن البحر والدرار { بلاغة الطلاب
}
Masalah tsa’ : tidak
boleh membersihkan rumput yang masih basah diatas kuburan karena disamakan
dengan pelepah kurma yang dijelaskan dalam hadits karena bisa memintakan
pengampunan kepada mayit selagi masih basah . saya berkata : hal tersebut
sesuai pendapat madzhab Syafi’i sedangkan menurut madzhab Hanafi boleh
dibersihkan akan tetapi makruh seperti yang di nukil dari Ibnu Abidin dalam
Hasyiyah Roddul Mukhtar an Al Bahr wa Ad Darar . ( Balaghotut
Thulab )
( مهمة )
يسن وضع جريدة حضراء على القبر للإتباع ولأنه يخفف ببركة تسبيحها إلى أن قال:
ويحرم أخذ شيئ منهما مالم يبيسالما في أخذ الأولى من تفويت الميت الماءثور عنه صلى
الله عليه وسلم وفي الثانية من تفويت حق الميت { فتح
المعين 2 ص:135 }
( penting ) disunahkan meletakan pelepah
kurma yang masih hijau diatas kuburan karena mengikuti sunah rosul dan
karenanya bisa meringankan mayit karena berkah bacaan tasbihnya .... dan
diharamkan mengambil sesuatu dari keduanya selagi belum kering karena , pertama
: menghilangkan hak mayit yang dilakukan oleh Nabi. Kedua : memutus hak mayit .
Fathul Mu’in Juz : 2
Hal : 135
Penyimpangan lainnya ada pada waktu pelaksanaan nya yang
dilakukan pada bulan sya’ban, bulan menjelang ramadhan. Apabila nyadran ini
diyakini sebagai bentuk rasa syukur seharusnya tidak hanya di bulan sya’ban
saja. Teteapi kita diperintahkan untuk bersyukur setiap saat. Dibulan sya’ban rasulullah SAW lebih
menganjurkan kita untuk melakukan puasa sya’ban
Penyimpangan lainnya ada pada prosesi puncak yang mencampurkan
makanan antar warga. Dan yang di campur pun semua makanan secara berlebihan
porsinya. Akibatnya sisa dari makanan tersebut banyak yang terbuang, sehingga
menjadi mubadzir.
DAFTAR
PUSTAKA
1. https://seteteshidayah.wordpress.com/2013/07/16/tradisi-nyadran/
diunduh pada 7-1-2017 (02:20)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar