Jumat, 06 Januari 2017

Tradisi Nyadran dan Penyimpangannya

TRADISI NYADRAN DAN PENYIMPANGANNYA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Akhir Semester
Mata Kuliah : Aqidah dan Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dede Asikin N,S.Ag

Disusun Oleh :
Nur Rochman : 16.0401.0062

Fakultas Agama Islam
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2016/2017




KATA PENGANTAR


           Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah SWT meridhoi-Nya. Amin
           Makalah ini membahas tentang “Tradisi Nyadran dan Penyimpangannya”. Harapan kami, makalah ini dapat di pahami oleh pembaca. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan juga pembaca. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang dapat membangun perbaikan di masa depan.

                                                                                                      Magelang, 5 Desember 2016

                                                                                                                       Penulis                    


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
              Masyarakat jawa memiliki berbagai budaya  yang sudah melekat didalamnya.  Salah satunya yaitu tradisi nyadran yang sudah dilakukan oleh nenek moyang dulu dan dilakukan secara turun temurun. Sebagaimana budaya budaya yang lainnya seperti suranan, muludan , syawalan dan juga tradisi-tradisi lainnya. Hakikatnya nyadran adalah do’a yang dipanjatkan kepada tuhan agar di berikan keselamatan dan kesejahteraan.
              Masyarakat selalu senantiasa menjaga kebudayaan ini  dan dijaga keberlangsungannya, sehingga membentuk suatu tradisi. Dan banyak masyarakat menganggap bahwa tradisi tersebut menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan , sehingga dengan melaksanakan nya akan mendapatkan pahala.
              Padahal menelusuri dari sejarah tradisi nyadran sendiri berasal dari ajaran agama hindu . lalu ketika agama islam masuk di nusantara, dengan akulturasi budaya wali songo sedikit merubah do’a-do’a yang ada di dalam ritual nyadran. Yang tadinya ritual doa ini ditunjukan kepada arwah/leluhur nenek moyang akhirnya diganti ditujukan kepada Allah SWT. Karena dengan cara ini lah islam bisa diterima oleh masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, maka rumusan maslah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah sejarah munculnya tradisi nyadran?
2.      Bagaimanakah tatacara pelaksanaan nyadran?
3.      Mengapa tradisi nyadran ternasuk menyimpang dari agama islam?




BAB II
PEMBAHASAN

A.       Sejarah Munculnya tradisi nyadran
         Kata sadran berasal dari bahasa arab yaitu sod’ru yang kemudian dilafalkan oleh lidah orang jawa menjadi nyadran/nyadran. Tradisi Nyadran atau biasa disebut dengan Sadranan adalah sebuah tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Islam Jawa, terutama sebagian besar masyarakat Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa sansekerta Sraddha yang berarti Keyakinan, dalam bahasa jawa nyadran berasal dari kata Sadran yang artinya ruwah, syakban. Tradisi Nyadran atau sadranan ini biasanya dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, yakni berupa seranngkaian upacara Ziarah kubur, berseh atau membersihkan makam dan mendoakan arwah leluhur atau kerabat yang sudah meninggal.
         Upacara Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap bulan Ruwah.
         Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadranpun menjadi media siar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan. Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.


B.       TATA CARA PELAKSANAAN NYADRAN

         Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya menyelenggaran upacara Nyadran secara umum (komunal) yang diselenggarakan pada siang hari hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama mengadakan do’a dan makan bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan do’a bersama di makam.
         Prosesi tradisi nyadran biasanya dimulai sehari sebelumnya yaitu dengan melakukan kegiatan bersih-bersih kuburan atau dalam istilah jawa disebut berseh, dan itu dilakukan oleh kaum laki-laki secara gotong royong bersama masyarakat.
         Dihari tepat pelaksanaannya dimulai dengan dengan memasak makanan yang di perlukan seperti: ingkung ayam, bregedel, gorengan, krupuk, masakan tahu dan kentang, itu dilakukan sekitar jam tujuh. Sementara kaum bapak pada waktu yang bersamaan pergi ke kuburan membawa makanan seperti apem, ketan dan kolak. Di kuburan mereka melakukan do’a bersama. Do’a yang di bacanya biasanya berupa bacaan tahlilan. Setelah prosesi do’a selesai dilanjutkan memakan bekal yang di bawanya tadi.
         Setelah masakan rumah yang dibuat kaum ibu sudah jadi, makanan tersebut di letakkan ke dalam piring- piring, kecuali krupuk dan nasi. lalu di masukkan ke dalam tenong.  Untuk nasinya di buat bentuk kerucut lalu di masukkan ke dalam wakul. Sekitar jam 8 kaum bapak-bapak pulang untuk mengambil makanan yang ada di dalam tenong tadi. Di bawa menuju jalan desa. Biasanya jalan desa di tutup untuk sementara prosesi nyadran. Dalam hal ini anggota keluarga biasanya untuk diikutkan semua. Makanan itu di letakkan di jalan yang sudah di beri alas kepang dan daun pisang. Makanan itu di campur dengan makanan warga yang lainnya. Di sini masyarakat melakukan makan bersama-sama. Tetapi tidak sampai habis dan sisanya di masukkan kembali untuk di bawa pulang. Inilah puncak dari prosesi acara nyadran yang ada di masyarakat.

C.       PENYIMPANGAN TRADISI NYADRAN
         Penyimpangan pertama ada pada sejarah munculnya nyadran itu sendiri yaitu dari agama hindu yang ada di jawa. Sedangkan kita sebagai seorang muslim tidak boleh mengikuti tradisi yang dimiliki oleh agama lain.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).

Di tempat lain dalam Majmu’ Al Fatawa, beliau berkata,
فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!
“Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu?!” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)
         Penyimpangan lainnya juga terdapat pada prosesi makan-makan di dalam kubur. Di dalam hal ini, Imam as-Syafie rahimahullah mengharamkannya dan beliau berfatwa:
ويكره …. نقل الطعام الى القبور

“Dimakruhkan (haram) membawa makanan ke kuburan”.   (Lihat: الطالبين اعانة (ina’atu at-Tholibin) Juz. 2 hlm. 146)

Haram menyambut Hari Raya di kuburan termasuklah di kubur para nabi, wali atau mana-mana kubur, kerana tidak ada Hari Raya kubur (عيد القبر). Nabi sallallahu ‘alahi wa-sallam bersabda:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ : لاَ تَتَّخِذُوا قَبْرِيْ عِيْدًا

“Dari Abi Hurairah radiallahu ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam: Janganlah jadikan kuburku sebagai tempat berhari raya”. (Hadis Sahih H/R Ahmad 2/367 dan Abu Daud 2042)

Imam Syafie rahimahullah mengharamkan duduk di atas kubur, beliau berlandaskan kepada hadis:

لاَنْ يَجْلِسَ اَحَدُكُمْ عَلَىجَمْرَةٍ ، فَتَحرق ثِيَابَهُ ، فَتخلص اِلَىجَلْدِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْر

“Abu Hurairah berkata: Telah bersabda Rasulullah: Jika salah seorang kamu duduk di atas bara api membakar sampai menembusi pakaianmu lalu membakar kulitnya, masih lebih baik baginya daripada ia duduk di atas kuburan”. (H/R Muslim, 3/62. Abu Daud 3228. Ahmad 2/311. Baihaqi 4/79. Ibnu Majah dan An-Nasaii)
         Penyimpangan kedua ada pada tidak adanya anjuran yang diperintahkan oleh rasulullah tentang prosesi-prosesi yang ada di dalam tradisi nyadran. Misalkan pada saat prosesi berseh
Apabila yang dibersihkan adalah rumput yang masih hidup /basah maka hukumnya khilaf :
·         Menurut Madzhab Syafi’i  tidak boleh dibersihkan .
·         Menurut Madzhab Hanafi boleh dibersihkan tetapi makruh .
Apabila yang dibersihkan adalah rumput yang sudah kering maka hukumnya boleh

Ibarat :
1.      Balaghotut Thullab
2.      Fathul Mu’in Juz : 2 Hal : 45

( مسئلة ث ) لا تجوز إزالة الحشيش الرطب من المقبرة لأنه مثل جريد المنصوص في الحديث بكونه يستغفر للميت مادم لارطبا. قلت وهذا عند الشافعية، وعند الحنفية جواز ذلك مع الكراهة كما نقله إبن عابدين في حاشية رد المختارعن البحر والدرار { بلاغة الطلاب }

Masalah tsa’ : tidak boleh membersihkan rumput yang masih basah diatas kuburan karena disamakan dengan pelepah kurma yang dijelaskan dalam hadits karena bisa memintakan pengampunan kepada mayit selagi masih basah . saya berkata : hal tersebut sesuai pendapat madzhab Syafi’i sedangkan menurut madzhab Hanafi boleh dibersihkan akan tetapi makruh seperti yang di nukil dari Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Roddul Mukhtar an  Al Bahr wa Ad Darar .  ( Balaghotut Thulab )

( مهمة ) يسن وضع جريدة حضراء على القبر للإتباع ولأنه يخفف ببركة تسبيحها إلى أن قال: ويحرم أخذ شيئ منهما مالم يبيسالما في أخذ الأولى من تفويت الميت الماءثور عنه صلى الله عليه وسلم وفي الثانية  من تفويت حق الميت  { فتح المعين     2  ص:135  }

( penting ) disunahkan meletakan pelepah kurma yang masih hijau diatas kuburan karena mengikuti sunah rosul dan karenanya bisa meringankan mayit karena berkah bacaan tasbihnya .... dan diharamkan mengambil sesuatu dari keduanya selagi belum kering karena , pertama : menghilangkan hak mayit yang dilakukan oleh Nabi. Kedua : memutus hak mayit .
Fathul Mu’in Juz : 2 Hal : 135
         Penyimpangan lainnya ada pada waktu pelaksanaan nya yang dilakukan pada bulan sya’ban, bulan menjelang ramadhan. Apabila nyadran ini diyakini sebagai bentuk rasa syukur seharusnya tidak hanya di bulan sya’ban saja. Teteapi kita diperintahkan untuk bersyukur setiap saat.  Dibulan sya’ban rasulullah SAW lebih menganjurkan kita untuk melakukan puasa sya’ban
         Penyimpangan lainnya ada pada prosesi puncak yang mencampurkan makanan antar warga. Dan yang di campur pun semua makanan secara berlebihan porsinya. Akibatnya sisa dari makanan tersebut banyak yang terbuang, sehingga menjadi mubadzir.  



DAFTAR PUSTAKA

1.      https://seteteshidayah.wordpress.com/2013/07/16/tradisi-nyadran/ diunduh pada 7-1-2017 (02:20)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Tentang, Aku, Kau dan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم   Syarat-syarat mencari ilmu اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِب...

Popular