Jumat, 02 Februari 2018

PENGERTIAN SERTA CONTOH SYAR’U MAN QABLANA, QAUL SHAHABI, DAN SADDU DZARI’AH

PENGERTIAN SERTA CONTOH SYAR’U MAN QABLANA, QAUL SHAHABI, DAN SADDU DZARI’AH

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Tengah Semester
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Subur, M.Si.



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
TAHUN 2017




A.     Pendahuluan
Islam adalah agama yang paling sempurna. Maka tidak salah lagi jika semua sendi-sendi kehidupan pemeluknya telah diatur dengan sangat detail. Ada 2 sumber hukum islam yang menjadi pedoman pemeluknya, ada hukum yang telah disepakati dan ada pula hukum yang tidak sepenuhnya disepakati. Hukum-hukum yang disepakati diambil dari kitab umat islam sendiri yaitu Al-Quran, selanjutnya dari perkataan Nabi atau Hadist, kemudian kesepakatan para ulama’ atau Ijma’, dan terakhir adalah dari hasil ijtihad para ulama’ yaitu qiyas.
Berikutnya ada pula pengambilan hukum dari yang tidak sepenuhnya disepakati, yaitu dari hasil ijtihad para ulama’, ada istihsan, istishab, ‘urf, mashlahah mursalah, qaul shahabi, saddu dzari’ah, dan syar’u man qablana. Semua sumber tersebut bertujuan untuk memudahkan umat islam untuk dapat beribadah kepada-Nya serta menjalani kehidupan sehari-harinya.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian serta contoh Syar’u Man Qablana.
2.      Untuk mengetahui pengertian serta contoh Qaul Shahabi.
3.      Untuk mengetahui pengertian serta contoh Istihsan.



PEMBAHASAN

A.     Syar’u Man Qablana
             1.     Pengertian
                        Yang dimaksud dengan syar’u man qablana , ialah syariat yang dibawa para rasul terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, yang menjadi petunjuk bagi kaum mereka masing-masing. Seperti syariat Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Daud AS, Nabi Isa AS, dan lain sebagainya.[2]
                        Bila Al-quran atau Hadist shahih menerangkan suatu hukum yang disyariatkan kepada umat sebelum kita, lalu Al-Quran dan Hadist itu menetapkan bahwa hukum tersebut wajib pula bagi umat Islam sekarang untuk mengerjakannya, tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syariat yang harus ditaati oleh umat Islam.  Misalnya, kewajiban berpuasa. Kewajiban ini telah diwajibkan kepada umat sebelum kita. Lalu syariat itu juga diwajibkan bagi umat islam sekarang.[3]

             2.     Dasar Hukum Syar’u Man Qablana
a.       Al qur’an surat Asy-Syura: 13
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù 4 uŽã9x. n?tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? ÏmøŠs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ム 
         Artinya: “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.

a.        Contoh Syar’u Man Qablana
         Disyariatkannya atau diwajibkannya melakukan ibadah puasa untuk umat-umat terdahulu dan umat-umat sekarang.Hal ini tercantum di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat  183:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs?

 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”[4]




B.      Qaul Shahabi
1.      Pengertian
            Semasa Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul dalam masyarakat langsung ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW memberikan jawaban serta solusinya. Setelah Rasulullah SAW wafat, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan orang-orang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadist.
            Qaul shahabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu hukum di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam Al-Quran dan Hadist”. Maksudnya adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum  terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Jadi, Qaul Shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang ketentuannya tidak terdapat pada nash.
            Yang dimaksud dengan sahabat menurut para ulama ushul fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup dalam waktu yang panjang. Dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW, sehingga secara adat dinamakan sebagai shahabat.[5]
                Menurut pandangan Imam Syafi’i, qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun Sunnah. Qaul sahabi berbeda dengan ijma’ sahabi yang mempunyai kedudukan yang kuat dan tinggi sebagai dalil syara’ karena kehujjahannya yang diterima semua ahli ushul fiqh. Ijma’ sahabi adalah hasil kesepakatan bersama tentang hukum.
a.       Contoh Qaul Shahabi
      Adapun contoh dari Qaul Shahabi adalah kasus potong tangan pidana pencurian. Dalam Al-Quran Allah berfirman pada surat Al-Maidah ayat 38:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr&
      Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya..
      Pencurian menurut hukum islam ialah perbuatan seorang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi pada tempat penyimpanan yang wajar. Tetapi berbeda dengan Umar bin Khattab yang dikabarkan pernah tidak melaksanakan hukum potong tangan sewaktu masyarakat islam sedang mengalami musibah kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan. Peristiwa ini terjadi pada musim paceklik. Dan juga beberapa perkara yang berkaitan dengan masalah pencurian, seperti pencurian baitul mal dan pencurian seorang budak yang tidak diberi makan oleh majikannya.
      Dalam kasus tersebut tersebut tidak mudah untuk mengatakan bahwa Umar telah melanggar ketentuan ayat Al-Quran yang memerintahkan pemotongan tangan pencuri, sementara Al-Quran sendiri tidak memberikan perincian penjatuhan hukuman potong tangan tersebut.
      Selain daripada khalifah Umar bin Khatab, contoh qaul sahabi yang lain adalah dari Abu Bakar Ash-Shidiq tentang pendapat bahwa seorang nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris. Hal ini dapat dipakai sebagai hujjah karena tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya atau tidak sependapat dengannya.[6]
C.     Istihsan
1.      Pengertian
            Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama’ Ushul Fiqh yaitu:
            هو عدول المجتهد عن مقتض قياس جلى الى مقتض قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي لدليل انقدح فى عقله رجع لديه هذ العدول
            Istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang diketahui oleh qiyas jali (terang) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafi (samar-samar), atau dari hukum kulli (meliputi) kepada hukum yang bersifat pengecualian (juz’i), karenan dalil yang zahir padanya yang menguatkan perpindahan itu”.[7]
            Jadi pada intinya, istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama’ ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.[8]



2.      Dasar Hukum Istihsan
a.    Al-Quran
        Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar ayat 18:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ  
        Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. 
        Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Lalu dalam firman Allah yang lain di surat Az-Zumar ayat 55:
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù'tƒ Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur Ÿw šcrããèô±n@ 
        Artinya: Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. 
        Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
b.     Hadist
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
            Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal sehat mereka, maka demikian juga di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
3.      Contoh-Contoh Istihsan
Berdasarkan uraian di atas, istihsan terbagi dalam dua macam:
1)   Pindah dari qiyas jali ke qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. Ulama’ menamakan istihsan ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi. Contohnya, apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, menurut istihsan hak-hak yang bersangkutan dengan tanah tersebut (seperti hak mengairi, membuat saluran, dan membuat lorong di atas tanah tersebut) sudah tercakup di dalamnya secara langsung, sebagaimana halnya dalam perikatan jual-beli.
      Adapun dari segi istihsannya dalam kasus ini adalah bahwa tujuan berwakaf adalah untuk memberikan manfaat sesuatu barang yang diwakafkan kepada pihak yang diberi wakaf. Pemanfaatan tanah pertanian seperti yang disebut dalam contoh di atas tidak akan tercapaikalau hak-hak yang berkaitan dengan pengelolaan tanah tersebut tidak mengikuti hukum tanahnya. Oleh karena itu, sekalipun hak-hak tersebut tidak dinyatakan secara rinci ketika diucapkan, tetapi sudah mengikuti ketentuan wakaf, sama halnya dalam perjanjian sewa-menyewa.
      Dalam contoh di atas, menurut qiyas jali, wakaf itu identik dengan jual-beli karena kedua bentuk aktivitas tersebut sama-sama mengandung adanya unsur pelepasan hak milik dari pemilik barang kepada orang lain. Sedangkan menurut qiyas khafi, wakaf itu identik dengan sewa-menyewa karena yang menjadi tujuan dalam dua bentuk aktivitas tersebut adalah manfaat dari apa yang diwakafkan. Oleh sebab itu, semua hak-hak tersebut sudah termasuk di dalamnya, sekalipun tidak disebutkan secara terperinci, dan begitu juga pada kasus wakaf di atas.
2)   Pindah dari hukum kulli ke hukum juz’i karena ada dalil yang mengharuskannya, istihsan macam ini oleh ulama’ Hanafi disebut istihsan dharurat karena penyimpangan tersebut dilakukan secara terpaksa dengan maksud menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan.
      Contohnya, syara’ melarang transaksi dan memperjualbelikan barang-barang yang belum ada pada saat transaksi dilakukan. Namun, menurut istihsan, syara’ memberi dispensasi (rukhsah) diperkenankannya praktik salam (jual-beli dengan pembayaran terlebih dahulu, tetapi barangnya dikirim kemudian) dan istishna’ (memesan untuk dibuatkan sesuatu atau inden). Kedua bentuk transaksi yang disebut terakhir ini adalah bagian dalam bentuk-bentuk transaksi dagang, tetapi barang yang diperdagangkan belum terwujud pada saat transaksi dibuat.
      Hukum kulli dalam contoh ini adalah tidak sahnya memperjualbelikan barang yang belum terwujud pada saat transaksi terjadi. Namun, transaksi itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat, maka dikecualikanlah dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz’i, yaitu transaksi dalam bentuk salam dan istishna’. Segi istihsannya dalam hal ini adalah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat. Dengan kata lain, bila praktik salam dan istishna’ tidak dibenarkan, masyarakat akan mendapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang dibutuhkan masyarakat tersedia di pasaran pada saat transaksi dilakukan. Oleh karenanya perlu dipesan (salam dan istishna’) terlebih dahulu.[9]


KESIMPULAN

Syar’u man qablana , ialah syariat yang dibawa para rasul terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, yang menjadi petunjuk bagi kaum mereka masing-masing. Seperti syariat Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Daud AS, Nabi Isa AS, dan lain sebagainya. Contohnya adalah disyariatkannya atau diwajibkannya melakukan ibadah puasa untuk umat-umat terdahulu dan umat-umat sekarang.
Qaul shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu hukum di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam Al-Quran dan Hadist. Contohnya adalah kasus potong tangan pidana pencurian.
Istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang diketahui oleh qiyas jali (terang) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafi (samar-samar), atau dari hukum kulli (meliputi) kepada hukum yang bersifat pengecualian (juz’i), karenan dalil yang zahir padanya yang menguatkan perpindahan itu. Contohnya adalah mewakafkan sebidang tanah pertanian dan jual beli salam.



DAFTAR PUSTAKA




Koto, Alaiddin 2011.  Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Nazar Bakry, Sidi. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT. RajaGrafindo
                 Persada.

Muchtar, Kamal, dkk. 1995. Ushul Fiqh Jilid 1. Yogyakarta: PT. Dana           Bhakti Wakaf

Mari Ziaul Haq Khan, “ Makalah Al Istihsan”, diakses dari https://mariziaulhaqkhan.blogspot.co.id/2014/08/makalah-al-istihsan.html?m=1, pada tanggal 15 November 2017 pukul 16.39

Muhammad Kamal “Qaul As-Shahabi”, diakses dari
https://kamaloddey.blogspot.co.id/2015/12/qaul-as-shahabi.html?m=1 , pada tanggal 15 November 2017 pukul 16.39




[1] Mahasiswa PAI Semerter 3 UMMgl
[2] Kamal Muchtar, et al., Ushul Fiqh Jilid 1, (Jogjakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf,  1995) , hlm.105.
[3] Sidi Nazar Bakry,  Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.111.
[4] Ibid., hlm.112-113
[5] Ibid., hlm.242
[6] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, , 2011), hlm. 115.
[7] Sidi Nazar Bakry, Op.cit.,  hlm.234
[8] Kamal Muchtar, Op.cit , hlm.139
[9] Alaiddin Koto, Op.cit., hlm.106-10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Tentang, Aku, Kau dan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم   Syarat-syarat mencari ilmu اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِب...

Popular