PENGERTIAN SERTA CONTOH SYAR’U
MAN QABLANA, QAUL SHAHABI, DAN SADDU DZARI’AH
Makalah Ini Disusun untuk
Memenuhi Tugas Tengah Semester
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Subur,
M.Si.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAGELANG
TAHUN 2017
A.
Pendahuluan
Islam adalah
agama yang paling sempurna. Maka tidak salah lagi jika semua sendi-sendi
kehidupan pemeluknya telah diatur dengan sangat detail. Ada 2 sumber hukum
islam yang menjadi pedoman pemeluknya, ada hukum yang telah disepakati dan ada
pula hukum yang tidak sepenuhnya disepakati. Hukum-hukum yang disepakati
diambil dari kitab umat islam sendiri yaitu Al-Quran, selanjutnya dari
perkataan Nabi atau Hadist, kemudian kesepakatan para ulama’ atau Ijma’,
dan terakhir adalah dari hasil ijtihad para ulama’ yaitu qiyas.
Berikutnya ada
pula pengambilan hukum dari yang tidak sepenuhnya disepakati, yaitu dari hasil
ijtihad para ulama’, ada istihsan, istishab, ‘urf, mashlahah mursalah, qaul
shahabi, saddu dzari’ah, dan syar’u man qablana. Semua sumber tersebut
bertujuan untuk memudahkan umat islam untuk dapat beribadah kepada-Nya serta
menjalani kehidupan sehari-harinya.
B.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian serta contoh Syar’u
Man Qablana.
2. Untuk mengetahui pengertian serta contoh Qaul
Shahabi.
3. Untuk mengetahui pengertian serta contoh Istihsan.
PEMBAHASAN
A.
Syar’u Man Qablana
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan syar’u man qablana
, ialah syariat yang dibawa para rasul terdahulu, sebelum diutusnya Nabi
Muhammad SAW, yang menjadi petunjuk bagi kaum mereka masing-masing. Seperti
syariat Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Daud AS, Nabi Isa AS, dan lain
sebagainya.[2]
Bila Al-quran atau
Hadist shahih menerangkan suatu hukum yang disyariatkan kepada umat sebelum
kita, lalu Al-Quran dan Hadist itu menetapkan bahwa hukum tersebut wajib pula
bagi umat Islam sekarang untuk mengerjakannya, tidak diragukan lagi bahwa hukum
tersebut adalah syariat yang harus ditaati oleh umat Islam. Misalnya, kewajiban berpuasa. Kewajiban ini
telah diwajibkan kepada umat sebelum kita. Lalu syariat itu juga diwajibkan bagi umat islam sekarang.[3]
2. Dasar Hukum Syar’u Man Qablana
a.
Al qur’an surat Asy-Syura: 13
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4 uã9x. n?tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? Ïmøs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ã
Artinya: “Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya)”.
a.
Contoh Syar’u Man Qablana
Disyariatkannya atau
diwajibkannya melakukan ibadah puasa untuk umat-umat terdahulu dan umat-umat
sekarang.Hal ini tercantum di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs?
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”[4]
B. Qaul Shahabi
1. Pengertian
Semasa Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah yang
muncul dalam masyarakat langsung ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah
SAW, dan Rasulullah SAW memberikan jawaban serta solusinya. Setelah Rasulullah
SAW wafat, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan
hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga
kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian
fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in,
dan orang-orang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadist.
Qaul shahabi
adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah SAW
tentang suatu hukum di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di
dalam Al-Quran
dan Hadist”.
Maksudnya adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits
tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Jadi,
Qaul Shahabi merupakan pendapat hukum yang dikemukakan oleh seseorang
atau beberapa orang sahabat nabi, tentang suatu hukum syara’ yang ketentuannya
tidak terdapat pada nash.
Yang
dimaksud dengan sahabat menurut para ulama ushul fiqh adalah seseorang yang
bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup
dalam waktu yang panjang. Dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan
mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW, sehingga secara adat dinamakan
sebagai shahabat.[5]
Menurut pandangan Imam Syafi’i,
qaul shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi
Muhammad SAW menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash,
baik Al-Qur’an maupun Sunnah. Qaul sahabi berbeda dengan ijma’ sahabi yang mempunyai kedudukan yang kuat
dan tinggi sebagai dalil syara’ karena kehujjahannya yang diterima semua ahli
ushul fiqh. Ijma’ sahabi adalah hasil kesepakatan bersama tentang hukum.
a.
Contoh Qaul
Shahabi
Adapun contoh dari Qaul Shahabi
adalah kasus potong tangan pidana pencurian. Dalam Al-Quran Allah berfirman pada surat Al-Maidah ayat 38:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r&
Artinya: “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya..”
Pencurian
menurut hukum islam ialah perbuatan seorang mengambil harta orang lain secara
sembunyi-sembunyi
pada tempat penyimpanan yang wajar. Tetapi berbeda dengan Umar bin Khattab yang
dikabarkan pernah tidak melaksanakan hukum potong tangan sewaktu masyarakat islam
sedang mengalami musibah kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan.
Peristiwa ini terjadi pada musim paceklik. Dan juga beberapa perkara yang
berkaitan dengan masalah pencurian, seperti pencurian baitul mal dan
pencurian seorang budak yang tidak diberi makan oleh majikannya.
Dalam kasus tersebut tersebut tidak mudah
untuk mengatakan bahwa Umar telah melanggar ketentuan ayat Al-Quran yang memerintahkan pemotongan tangan
pencuri, sementara
Al-Quran
sendiri tidak memberikan perincian penjatuhan hukuman potong tangan tersebut.
Selain daripada khalifah Umar bin Khatab,
contoh qaul sahabi yang lain adalah dari Abu Bakar Ash-Shidiq tentang pendapat bahwa seorang nenek mendapat seperenam (1/6)
bagian waris. Hal ini dapat dipakai sebagai hujjah karena tidak ada sahabat
lain yang menyalahkannya atau tidak sependapat dengannya.[6]
C.
Istihsan
1.
Pengertian
Istihsan
menurut bahasa
berarti
menganggap baik atau
mencari yang baik. Menurut istilah ulama’ Ushul Fiqh yaitu:
هو
عدول المجتهد عن مقتض قياس جلى الى مقتض قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي
لدليل انقدح فى عقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari
hukum yang diketahui oleh qiyas jali (terang) kepada hukum yang dikehendaki
oleh qiyas khafi (samar-samar), atau dari hukum kulli (meliputi) kepada hukum
yang bersifat pengecualian (juz’i), karenan dalil yang zahir padanya yang
menguatkan perpindahan itu”.[7]
Jadi pada intinya, istihsan menurut bahasa
berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama’ ushul fiqh,
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan.[8]
2. Dasar
Hukum Istihsan
a.
Al-Quran
Para ulama yang mempertahankan
istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata
istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
firman Allah Swt dalam surah
Al-Zumar ayat 18:
tûïÏ%©!$#
tbqãèÏJtFó¡o
tAöqs)ø9$#
tbqãèÎ6Fusù
ÿ¼çmuZ|¡ômr&
4 y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
ãNßg1yyd
ª!$#
( y7Í´¯»s9'ré&ur
öNèd
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÊÑÈ
Artinya: “Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”.
Ayat ini menurut
mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti
perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah. Lalu
dalam firman Allah yang lain di surat Az-Zumar ayat 55:
(#þqãèÎ7¨?$#ur
z`|¡ômr&
!$tB
tAÌRé&
Nä3øs9Î)
`ÏiB
Nà6În/§
`ÏiB
È@ö6s%
br&
ãNà6uÏ?ù't
Ü>#xyèø9$#
ZptGøót/
óOçFRr&ur
w
crããèô±n@
Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang
telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan
tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.
Menurut mereka,
dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.
b. Hadist
فَمَا
رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا
سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa
yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah
adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal sehat mereka, maka demikian juga di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
3. Contoh-Contoh Istihsan
Berdasarkan uraian di atas, istihsan
terbagi dalam dua macam:
1) Pindah dari qiyas jali ke qiyas
khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. Ulama’ menamakan istihsan
ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi. Contohnya, apabila
seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, menurut istihsan hak-hak yang
bersangkutan dengan tanah tersebut (seperti hak mengairi, membuat saluran, dan
membuat lorong di atas tanah tersebut) sudah tercakup di dalamnya secara
langsung, sebagaimana halnya dalam perikatan jual-beli.
Adapun dari segi istihsannya dalam kasus ini
adalah bahwa tujuan berwakaf adalah untuk memberikan manfaat sesuatu barang
yang diwakafkan kepada pihak yang diberi wakaf. Pemanfaatan tanah pertanian
seperti yang disebut dalam contoh di atas tidak akan tercapaikalau hak-hak yang
berkaitan dengan pengelolaan tanah tersebut tidak mengikuti hukum tanahnya.
Oleh karena itu, sekalipun hak-hak tersebut tidak dinyatakan secara rinci
ketika diucapkan, tetapi sudah mengikuti ketentuan wakaf, sama halnya dalam
perjanjian sewa-menyewa.
Dalam contoh di atas, menurut qiyas jali, wakaf
itu identik dengan jual-beli karena kedua bentuk aktivitas tersebut sama-sama
mengandung adanya unsur pelepasan hak milik dari pemilik barang kepada orang
lain. Sedangkan menurut qiyas khafi, wakaf itu identik dengan
sewa-menyewa karena yang menjadi tujuan dalam dua bentuk aktivitas tersebut
adalah manfaat dari apa yang diwakafkan. Oleh sebab itu, semua hak-hak tersebut
sudah termasuk di dalamnya, sekalipun tidak disebutkan secara terperinci, dan
begitu juga pada kasus wakaf di atas.
2) Pindah dari hukum kulli ke hukum
juz’i karena ada dalil yang mengharuskannya, istihsan macam ini oleh
ulama’ Hanafi disebut istihsan dharurat karena penyimpangan tersebut
dilakukan secara terpaksa dengan maksud menghadapi keadaan yang mendesak atau
menghindari kesulitan.
Contohnya, syara’ melarang transaksi
dan memperjualbelikan barang-barang yang belum ada pada saat transaksi
dilakukan. Namun, menurut istihsan, syara’ memberi dispensasi (rukhsah)
diperkenankannya praktik salam (jual-beli dengan pembayaran terlebih
dahulu, tetapi barangnya dikirim kemudian) dan istishna’ (memesan untuk
dibuatkan sesuatu atau inden). Kedua bentuk transaksi yang disebut terakhir ini
adalah bagian dalam bentuk-bentuk transaksi dagang, tetapi barang yang
diperdagangkan belum terwujud pada saat transaksi dibuat.
Hukum kulli dalam contoh ini adalah tidak sahnya
memperjualbelikan barang yang belum terwujud pada saat transaksi terjadi.
Namun, transaksi itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat,
maka dikecualikanlah dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz’i,
yaitu transaksi dalam bentuk salam dan istishna’. Segi istihsannya
dalam hal ini adalah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat. Dengan kata
lain, bila praktik salam dan istishna’ tidak dibenarkan,
masyarakat akan mendapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari,
karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang dibutuhkan masyarakat
tersedia di pasaran pada saat transaksi dilakukan. Oleh karenanya perlu dipesan
(salam dan istishna’) terlebih dahulu.[9]
KESIMPULAN
Syar’u man qablana , ialah syariat yang dibawa para rasul
terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, yang menjadi petunjuk bagi kaum
mereka masing-masing. Seperti syariat Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Daud
AS, Nabi Isa AS, dan lain sebagainya. Contohnya adalah disyariatkannya atau diwajibkannya melakukan ibadah puasa untuk
umat-umat terdahulu dan umat-umat sekarang.
Qaul shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang
suatu hukum di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam Al-Quran dan Hadist.
Contohnya adalah kasus potong tangan pidana pencurian.
Istihsan
ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang diketahui oleh qiyas
jali (terang) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafi
(samar-samar), atau dari hukum kulli (meliputi) kepada hukum yang
bersifat pengecualian (juz’i), karenan dalil yang zahir padanya yang
menguatkan perpindahan itu. Contohnya adalah mewakafkan sebidang tanah
pertanian dan jual beli salam.
DAFTAR PUSTAKA
Koto, Alaiddin 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada.
Nazar Bakry, Sidi. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh.
Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada.
Muchtar, Kamal, dkk. 1995. Ushul Fiqh
Jilid 1. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf
Mari Ziaul Haq
Khan, “ Makalah Al Istihsan”, diakses dari https://mariziaulhaqkhan.blogspot.co.id/2014/08/makalah-al-istihsan.html?m=1, pada tanggal 15 November 2017 pukul 16.39
Muhammad Kamal
“Qaul As-Shahabi”, diakses dari
https://kamaloddey.blogspot.co.id/2015/12/qaul-as-shahabi.html?m=1 , pada tanggal 15 November 2017 pukul 16.39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar