Kamis, 11 Januari 2018

LAFADZ WADHIH DAN GHAIRU WADHIH

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Subur, MSI







Disusun oleh :



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2017


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fiqih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang jelas artinya (wadhih) dan lafaz yang tidak jelas artinya (ghairu wadhih). Yang dimaksud dengan lafaz yang jelas artinya (wadhih) ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu zhâhir, nash, mufassar, dan muhkam.
Sedangkan yang dimaksud lafaz yang tidak jelas artinya (ghairu wadhih) adalah nash yang tidak jelas dalalahnya. Nash ini melalui bentuknya sendiri dan tidak dapat menunjukkan arti yang dimaksudkannya bahkan untuk memahaminya saja harus menggunakan faktor dari luar. Jika nash atau dalil itu bisa dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka dalil itu disebut al-khafi atau al-musykil .
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu lafadz wadhih dan ghairu wadhih
2. Untuk mengetahui jenis dan contoh lafaz wadhih dan ghairu wadhih
3. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum dengan baik dan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafaz Yang Jelas Dan Tidak Jelas Maknanya
Lafaz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti. Lafaz dari segi kejelasan maknanya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang jelas dan lafaz yang tidak jelas. Maksud dari lafaz yang jelas adalah lafaz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Lafaz yang jelas juga biasa disebut dengan zhahirud, maksud dari zhahirud adalah suatu lafaz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh sighat lafaz itu sendiri, artinya untuk memahami makna dari lafaz itu tidak tergantung kepadasuatu hal dari luar.
Sedangkan yang dimaksud dengan lafaz yang tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz yang tidak jelas juga biasa disebut dengan khafiyud dalalah, khafiyud dalalah adalah lafaz yang penunjukannya kepada makna yang bukan dikehendaki oleh sighat itu sendiri, melainkan karena tergantung kepada sesuatu dari luar. Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafaznya. Kekaburan lafaz itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan ijtihad. 
B. Lafaz yang Jelas Artinya
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai tingkatan dilalah lafaz dari segi kejelasannya. Pertama yaitu ulama hanafiyah yang membagi lafaz dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian yaitu dari yang jelasnya bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang kedua jumhur ulama dari kalangan mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’I yang  membagi lafaz dari segi kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan nash.
Pembagian lafaz ini sebenarnya dilihat dari segi mungkin atau tidaknya ditakwilkan  atau dinasakh , Menurut Hanafiyah:
1. Zhahir
Zhahir adalah lafaz yang menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapannya, karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang mengucapkannya. Makna yang terbentuk dalam persepsi pendengar bukan merupakan maksud dasar pelafazan. Secara lebih jelas dapat dinyatakan, bahwa menurut aliran Hanafiyah, lafaz zhahir adalah bentuk lafaz yang menghadirkan makna jelas yang secara langsung dapat ditangkap, namun makna ini bukan tujuan atau maksud pembicaraan. 
Contoh lafaz zhahir yang ada dalam al-Qur’an seperti surah Al-Nisa ayat 3 berikut ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Makna atau arti zhahir yang cepat yang dapat ditangkap dari ayat tersebut adalah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi dan kebolehan menikahi perempuan sebanyak dua, tiga, atau empat orang.  Akan tetapi makna zhahir tersebut bukanlah maksud utama ayat, kalau diperhatikan rangkaian pembicaraannya, bukanlah makna itu yang dimaksud. Maksud dari ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita yang boleh dikawini atau dinikahi yaitu empat orang dan maksud utamanya adalah penetapan kehati-hatian untuk berlaku adil dalam bermu’amalah dengan perempuan-perempuan yatim. Sebab kebiasaan orang-orang Arab dalam memperlakukan anak perempuan yatim yang berada di dalam perlindungannya adalah dengan tujuan penguasaan harta yang ditinggalkan oleh orang tua anak yatim tersebut. 
Dengan demikian, yang dimaksud dengan lafaz zhahir adalah bentuk lafaz yang memunculkan makna yang cepat ditangkap dari mendergarkan lafaz tersebut, namun mengandung makna relatif bahwa ada makna lain selain makna yang telah ditangkap secara langsung. 
Contoh surah lain tentang lafaz zhahir adalah surat Al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah (2) : 275)
Arti zhahir yang cepat dapat ditangkap dari ayat tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Zhahir ayat tersebut menghadirkan makna yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan faktor luar yang menjelaskannya bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram. Makna ini sangat jelas sekali terlihat dalam ayat. Tetapi bukan pengertian itu yang dimaksud menurut konteks ayat tersebut.  Maksud utama ayat ini adalah penjelasan tentang perbedaan antara jual beli dan riba. Karena ayat tersebut adalah sebagai jawaban atas pernyataan orang musyrik yang menyatakan bahwa jual beli dengan riba itu sama.
Kaidah yang diterapkan oleh ulama ushul terkait lafaz zhahir bahwa setiap lafaz zhahir harus dipegang maknanya. Hukum yang muncul dari lafaz zhahir dapat diterapkan, seperti dua contoh ayat diatas bahwa pada ayat pertama dapat dinyatakan “kebolehan menikah hingga batas maksimal empat orang istri” dan pada ayat yang kedua adalah tentang “kehalalan jual beli dan keharaman riba”. Kaidah yang berlaku di sini adalah wajib mengamalkan pengertian zhahir dari suatu ayat atau hadis selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian yang lain.
2. Nash 
Lafaz nash adalah lafaz yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang pengertian itulah yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh konteksnya. Lafaz nash merupakan bentuk lafaz yang lebih jelas dari lafaz zhahir yang dijelaskan oleh lafaz itu sendiri dengan adanya petunjuk yang terkait dengan maksud pembicara. Dalam arti bahwa kejelasan makna lafaz nash dibandingkan lafaz zhahir tidak terjadi semata-mata dari struktur kalimat namun dari makna yang menghadirkan  maksud pembicara itu sendiri. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa lafaz nash adalah sebuah lafaz yang penunjukan maknanya sesuai dengan maksud pembicara.
Untuk lebih jelas tentang lafaz nash dan perbedaan dengan lafaz zhahir, dapat dicontohkan melalui ayat riba yang telah diuraikan pada pembahasan lafaz zhahir dengan redaksi ayat yang lengkap berikut: 
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.Al-Baqarah: 275)
Lafaz nash dari ayat ini menunjukkan makna perbedaan antara jual beli dan riba dari segi halal dan haram. Makna ayat (sebagai makna zhahir) pada makna kehalalan jual beli dan keharaman riba. Sementara dalam makna nash pernyataan perbedaan keduanya merupakan makna yang sesuai dengan maksud ayat tadi.
Jadi ayat tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman ini disebut pemahaman secara zhahir. 
Terlihat bahwa lafaz nash memunculkan kejelasan makna yang lebih daripada lafaz zhahir sebab lafaz nash diketahui dari maksud pembicara. Oleh karena itu, dari segi kekuatan makna yang dihasilkan oleh kedua lafaz, maka lafaz nash dalam penunjukannya terhadap hukum dinyatakan lebih kuat dibandingkan dengan lafaz zhahir sebab penunjukan nash lebih terang dan jelas dari segi maknanya.
Kaidah yang ditetapkan atau berlaku bagi lafaz nash adalah sama seperti lafaz zhahir yaitu wajib menggunakan makna yang secara langsung dapat dipahami dari maksud pembicara. Jadi kaidah yang berlaku disini adalah wajib mengamalkan pengertian nash tersebut. Namun mengandung kebolehjadian untuk di ta’wil kepada pengertian lain bila ada indikasi atau dalil yang menunjukkan untuk itu.  
3. Mufassar
Lafaz mufassar adalah lafaz yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas. Sehingga petunjuk itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis. 
Kejelasan petunjuk lafaz mufassar lebih tinggi daripada petunjuk lafaz zhahir dan lafaz nash. Karena pada petunjuk lafaz zhahir dan lafaz nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditakhsis, sedangkan pada lafaz mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada.
Mufassar itu ada dua macam yaitu :
a) Menurut asalnya, lafaz itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Contoh QS. An-Nur (24) ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً      
“Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali”.
b) Asalnya lafaz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Lafaz seperti itu, juga disebut dengan “mubayyan”. Contohnya QS. An-Nisa (4) ayat 92:
فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ
“Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.” 
4. Muhkam
Lafaz muhkam adalah lafaz yang menunjukkan makna dengan petunjuk tegas dan jelas serta qath'i  dan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, ditakhsis dan dinasakh sekalipun pada masa Nabi Muhammad, lebih-lebih pada masa setelah beliau. 
Muhkam itu ada dua macam, yaitu :
1) Muhkam Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya, bila tak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri.
2) Muhkam Lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafaz itu di nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya.
Menurut ulama mutakallimin, kejelasan lafazh terbagi atas dua macam, yaitu zhahir dan nash. Namun, Imam Al-Syafi'I tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Baginya, lafazh zhahhir dan lafaz nash ini adalah dua nama (lafaz) untuk satu arti. Seperti dikemukakan oleh Abu Al-Hasan Al-Basri, nash menurut batasan Imam al-Syafi'I adalah suatu khitab (firman) yang dapat diketahui hukum yang dimaksud baik diketahuinya itu dengn sendirinya atau melalui yang lain. Tetpai dalam perkembangan selanjutnya, setelah Imam al-Syafi'I lafazh nash dan lafazh zhahir ini dibedakan pengertiannya yaitu "nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil". 
C. Lafaz Yang Tidak Jelas Artinya 
1. Khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah suatu lafaz yang petunjuknya tidak jelas atas sebagian satuannya, karena adanya unsur dari luar lafaz yang membutuhkan pemahaman dan perhatian sungguh-sungguh terhadap sebagian satuan tersebut. 
Contoh lafaz khafi ini adalah lafazh السارق  (pencuri) dalam firman Allah, surat al-maidah (5) :
السارق والسارقة فاقطعواايديهما
“Pencuri lai-lai dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
Lafaz   السارقitu cukup jelas yaitu orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi". Namun lafaz "pencuri" itu mempunyai satuan arti (afrad) yang banyak seperti pencopet, perampok, pencuri barang kuburan dan lain sebagainya.
2. Musykil
Musykil adalah suatu lafaz nash yang bentuknya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendak, caranya ialah harus dilakukan pembahasan dengan memperhatikan qarinah dan petunjuk dari luar yang terkait dengannya.
Sebagai contoh adalah lafaz quru' yang terdapat dalam firman Allah Surat Al Baqarah (2) : 228. 
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah selama tiga quru’
lafaz quru' disini termasuk lafaz musytarak, yaitu mempunyai pengertian ganda antara suci dan haidh. Akibatnya, petunjuknya menjadi tidak jelas, mana yang harus dikehendaki dari dua arti tersebut. Oleh karena itu, dalam pengamalan lafaz musykil harus dikaji secara menyeluruh dengan menentukan dan memilih salah satu makna untuk dijadikan pegangan. 
3. Mujmal 
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak dirinci. Menurut istilah adalah lafaz yang tidak dapat dipahami maksudnya. Kecuali ada penafsiran dari pembuat mujmal, yaitu syar'I.
Contohnya : lafaz sholat, secara bahasa berarti doa, tetapi secara istilah syara' adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah. Contoh lain :
يدالله فوق ايدهم
“Tangan Allah diatas tangan mereka”.
4. Mutasyabih   
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan simpang siur. Menurut istilah, berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suatu lafaz yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syarat baik al-Qur'an maupun sunnah, sehingga tidak dapat diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. 
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
a) Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam al-Qur'an seperti يس, كهيعص, الر,الم dan sebagainya.   
Potongan-potongan dalam bentuk huruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari segi lafaznya.
b) Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut lughawinya karena Allah SWT Maha suci dari pengertian yang demikian.
Contoh : 
ويبغى وجه ربك ذو الجلال والا كرام
“Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu Yang Maha Besar dan Maha Mulia”. 
Ulama mutakallimin (syafi'iyah) tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi lafaz ditinjau dari segi ketidakjelasannya. Namun dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafazh itu kedalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas. 


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lafaz yang jelas adalah lafaz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar
Lafaz yang tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu
Lafaz yang jelas maknanya sendiri terdapat 2 pendapat, yang pertama yaitu pendapat dari jumhur ulama atau mutakallimun menjelaskan bahwa lafaz yang jelas maknanya terbagi dari 3 tingkatan, yaitu nash, zahir dan mujmal. Sedangkan pendapat lain, yaitu pendapat dari kalangan hanafiyah. Lafaz yang jelas menurut kalangan hanafiyah ada 4 macam,yaitu zahir, nash, mufassar dan muhkam.
Lafaz yang tidak jelas terdiri dari 4 tingkatan,yaitu : khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih. 


DAFTAR PUSTAKA

http://4ri3fr4chm4n.blogspot.co.id/2014/03/ushul-fiqhi-zhahir-nash-mufassar-muhkam.html
https://curutpurwosari13.blogspot.co.id/2017/05/makalah-ushul-fiqh-lafaz-jelas-dan.html
http://muhammad-fachmi-hidayat.blogspot.co.id/2013/03/makalah-ushul-fikih-lafazh-yang-terang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Tentang, Aku, Kau dan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم   Syarat-syarat mencari ilmu اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِب...

Popular