Jumat, 02 Februari 2018

METODE PENETAPAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN BAHASA

METODE PENETAPAN  HUKUM MELALUI
PENDEKATAN BAHASA
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Tengah Semester
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Subur. M.Pd.I






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2017


METODE PENETAPAN  HUKUM MELALUI PENDEKATAN BAHASA
Oleh: Siti Kholifatul Karimah[1]
A.     Pendahuluan
Sumber asasi hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis diungkapkan dalam bahasa Arab. Untuk dapat memahami hukum-hukum yang ada di dalamnya, maka seorang mujtahid yang akan menggali hukum-hukum tersebut harus memahaminya secara komprehensif. Untuk itu, ia harus memahami Bahasa Arab dengan segala aspeknya, sebagai bahasa al-Qur’an dan hadis. Suatu hal yang tidak masuk akal kalau seseorang yang tidak memahami bahasa Arab akan dapat mengistinbath hukum secara maksimal dari al-Qur’an dan hadis yang berbahasa Arab. Sebab itu, al-Ghazali menyebut kaidah kebahasaan sebagai pilarushûl al-fiqh, yang dengannya paramujtahid dapat menggali dan memetik hukum dari sumber-sumbernya. Setiap usaha untuk memahami dan menggali hukum dari teks al-Qur’an dan Sunnah sangat bergantung kepada kemampuan memahami Bahasa Arab, maka para ahli ushul al-fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan pada kaidah kebahasaan.
B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Kaidah Lughawiyah
2.      Untuk mengetahui ruang lingkup kaidah lughawiyah
3.      Untuk mengetahui pembagian Kaidah Lughawiyah berdasarkan ruang lingkupnya.



PEMBAHASAN

A.     Pengertian Kaidah Lughowiyah
Kaidah Lughawiyah  adalah kaidah yang dirumuskan oleh para ‘ulama berkaitan dengan maksud dan tujuan ungkapan-ungkapan bahasa arab yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu sendiri, baik yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan sastra, prosa dan lain sebagainya. Artinya nash-nash Al-Qur’an dan Hadits adalah bahasa arab. Untuk mengetahui hukum-hukum dalam kedua nash tersebut secara sempurna dan benar para ‘ulama melakukan penelitian tentang gaya bahasa arab serta meneliti cara penujukan lafadz nash yang memakai bahasa arab kepada arti yang ditujunya.
B.     Ruang Lingkup Kaidah Lughowiyah[2]
Ruang lingkup kaedah bahasa (lughawy) itu mengacu pada empat segi yang sebagi berikut:
1.      Kepada lafazh-lafaz nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalah-nya tehadap pengertian yang dimaksud.
2.      Dari segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunakan ibarat yang sharih (ungkapan yang jelas), ataukah menggunakan isyarat yang mengandung makna yang tersirat; dan apakah memakai manthuq ataukah mafhum.
3.      .Dari segi cakupan lafazh dan sasaran dalalah-nya, berupa lafadz umum dan lafadz yang husus, dan lafaz muqayyad atau mutlaq.
4.      Dari segi bentuk runtutan(sighat taklif-nya)




C.     Macam-Macam Lafadz Berdasarkan Ruang Lingkupnya.
1.    Lafadz Dari Segi Kejelasan Artinya
1)      Lafadz yang terang artinya (dzahiru dalalah)
dzhohirud dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafadz itu sendiri. Artinya untuk memahami makna dari lafadz tersebut tidak tergantung kepada suatu hal dari luar. Dzahirud dalalah itu dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu dzhahir, nash, mufassar, dan muhkam.
a.       Dzhahir
Dzhahir ialah suatu lafadz yang diragui antara dua pengertian, sedang salah satu diantara keduanya jelas.[3]
Dzhahir juga diartikan lafadz yang menunjukkan kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat(bentuk) lafadz itu sendiri masih dapat di-takwil-kan, di-tafsir-kan dan dapat pula di-nasakh-kan pada masa Rasulullah Saw. misalnyasurat al-nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (An-Nisa’ 3)
Penunjukkan lafadz fankihu maa thaba lakum minannisaa’i” ialah halalnya mengawiniwanita-wanita yang disenangi. Akan tetapi kalau dicermati maksud yang sebenarnya adalah pembatasan jumlah wanita yang boleh dinikahi, yaitu empat orang sekali waktu.


b.      Nash
Nash dalam  istilah ushul yaitu apa yang ditunjukan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan[4]. Nash merupakan lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik olehlafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan masih dapat ditakwilkan, ditafsirkan, dan dinasakh dimasa nabi Saw. misalnya surat an-nisa’ ayat 12:
مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (an-Nisa’: 12)
Lafadz “washiyatin” dan “dainin” dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna yang dikehendaki oleh sighat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka kepada para ahli waris.
c.       Mufassar
Mufassar dalam Istilah Ushul yaitu apa yang menunjukan dengan sendirinya atas makna yang terpisah dan terperinci.[5] Mufassar adalah lafadz yang menunjukkan kepadamakna yang sebagaimanayang oleh sighat lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi tidak dapat ditakwilkan dan ditafsirkan selain oleh syari’ sendiri dan dapat menerima nasakh pada zaman Nabi Saw. misalny, firman Allah dalam surat al-nur ayat 4:
فاجلدوا ثمانين جلدة
…maka deralah mereka de;apan puluh kali…
Lafadz tsamanina adalah mufassar. Karena, arti yang dikehendaki sighat itu sendiri memang demikian pengertian dan siyaqul kalamnya. Pengertian delapan puluh pada ayat itu tidak dapat diubah dengan mengurangi ataupun menambah
d.      Lafadz muhkam
Muhkam dalam istilah Ushul, yaitu ap ayng menunjukkan atas arti yang tidak menerima pembatalan yang tidak boleh dipertukar-tukarkan dengan sendirinyaoleh dalil-dalil nyata.[6]
Lafadz muhkam merupakan lafadz yang menunjukkan pada makna sebagaimana yang dikehendaki oleh sighat lafadz itu dan siyaqul kalam, tetapi tidak dapat ditakwilkan, ditafsirkan, dan dinasakh pada saat Rasulullah masih hidup. Demikian, lafadz muhkam itu adalah lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh. Ia seperti lafadz mufassar dari segi terangnya dalalah, tetapi dari segi dalalah maknanya adalah lebih kuat daripada dhalalah makna lafadz mufassar.

2)      Lafadz Yang Tidak Terang Artinya (Khafiyud Dalalah)
Kahfiyud dalalah adalah lafadz yang penunjukkanya kepada makna yang dikehendaki bukan oleh sighat itu sendiri, melainkan karenatergantung kepada sesuatu dari luar. Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafadnya.
a.       Khafi
Lafadz khafi adalah lafadz yang penunjukanya kepada maknanya jelas. Akan tetapi, penerapan maknanya kepada sebagian satuanya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafadz itu sndiri. Misalnya, sebagian satuanya mempunyai nama yang khas atau mempunyai sifat yang berbeda dengan satuan yang lain sehingga menimbulkan keraguan untuk dimasukkan kepada makna yang umum dari lafadz tersebut.
Sebagai contoh kekaburan makna sebagian satuanya yang disebabkan adanya nama khas seperti lafadz sariq(pencuri) dengan firman allah surat al-maidah ayat 38:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya…
Lafadz saariq menurut ayat tersebut diterapkan untuk orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembvunyi dari tempat penyimpanan yang wajar. Dalalah lafadz kepada maknanya yang demikian itu adalah jelas. Akan tetapi, dalam penerapanya makna sariq terhadap sebagian satuanya terdapat suatu kekaburan. Misalnya, menerapkan makna pencuri kepada nasyal(pencopet), yakni oranag yang mengambil milik oarng lain tidak dengan cara sembvunyi. Lafadz nasyal ini artinya berdbeda denmgan arti pencuri karena adanya unsure yang barlainan, yaitu keberanaian dan kenekatan. Oleh lafadz itu memiliki unsur yang berlainan dengan pencuri, ia diberi nama khusus.
Untuk menetapkan apakah tindakan mencopet itu dapat dimasukkan kedalam tindakan mencuri agar mereka dapat dilakukan hukuman potong tangan sebagaimana yang berlaku dalam pencurian, memerlukan pembahasan dan penelitian yang cermat. Para ulama’ telah sepakat bahwa mencopet itu dapat dimasukkan dalam pengertian mencuri sehingga ia harus dipotong tangan sebab, mencopet mempunyai unsur yang lebih dari pada mencuri, yaitu adanya kenekatan.
b.      Musykil
Yang dimaksud Musykil dalam istilah ushul ialah lafadz yng tidak ditunjukkan dengan sighatnya tentang apa yang dimksudkan itu. [7]Sehingga lafadz musykil adalah lafadz yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki. Akan tetapi, harus ada qarinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.. perbedaan antara lafadz khafi dan lafadz musykil adalah bahwa pada lafadz khafi kekaburan maknanya bukan disebabkan dari lafadz itu sendiri, melainkan disebabkan adanya keraguan makna atas sebagian satuanya karena sesuatu dari luar. Adapun kekaburan makna pada lafadz musykil berasal dari lafadz itu sendiri karena lafadz itu diciptakan untuk beberapa makna. Kemusykilan lafadz itu timbul disebabkan oleh hal berikut:
Pertama, karena lafadz itu musytarak. Yaitu lafadz yang diciptakan untuk beberapa arti sedang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu(penjelasan secara rinci telah ada pada bab sebelumnya.
Kedua, adanya dua lafadzyang saling berlawanan. Artinya, kedua nash dan jelasnya dalalahnya, tidak ada kesukaran sedikitpun. Akan tetapi, kemusykilanya terletak dalam men-taufiq-kan (mengkompromikan) antara kedua nash yang saling berlawanan itu. Sebagai contoh ayat al-nisa ayat 79dan78:
ما أصابك من حسنة فمن الله وما أصابك من سيّئة فمن نفسك
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari allah dan apa saja bencana yang menimpamu adalah akibat dari kesalahanmu sendiri.
-          قل كل من عندالله
“Katakanlah bahwa semuanya itu dari sisi allah”
Jalan untuk menghilangkan kemusykilan suatu lafadz adalah dengan jalan berijtihad. Oleh karena itu, bila seorang mujtahid menemukan lafadz nash yang musytarak hendaklah mencari qarinahnya untuk menghilangkan kemusykilanya, dalam hal ini menegaskan nama di antara dua buah nash yang menurut lahirnya berlawanan, hendaklah mencari takwilnya, baik dari nash-nash yang lain, qaidah-qaidah syari’at maupun dari hikmah tasyri’
c.       Mutasyabih
Yang dimaksud Mutasyabih dalam istilah ushul, yaitu lafadz yang tidak ditunjuukkan oleh lafadznya itu sendir kepada maksudnya itu [8]atau  lafadz yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendakinya dan tidak didapati pula qarinah-qarinah dari luar yang menjelaskannya. Misalnya huruf-hurus hijaiyah yang dipergunakan sebagai pembukaan dalam beberapa surat al-Qur’an (mafati hussuwar) seperti Alif Lam Mim. Dan ayat-ayat yang menurut lahirnya menetapkan bahwa Allah itu serupa dengan makhluk. Misalnya mempunyai tangan. Seperti firman Allah:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Tangan Allah di atas tangan mereka (al-Fath : 10)
Menanggapi ayat mutasyabih semacam itu para ulama ahli kalam terbagi kepada dua golongan.
1)      Golongan salaf (terdahulu) mengi’tiqadkan bahwa Tuhan adalah suci dari sifat-sifat yang tidak patut baginya. Oleh karena itu, mereka menyerahkan bulat-bulat pena’wilan ayat mutasyabihat kepada Allah
2)      Golongan Khalaf (terkemudian) mentakwilkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pemakaian bahasa





2.      Lafadz dari segi penggunaannya
1)      Haqiqah (Hakikat) dan Majaz
Hakikat  ialah lafal yang digunakan untuk menunjukkan pengertian sesuatu secara tertentu berdasarkan pengguna yang asli (yang pertama sejak terbentuknya lafal tersebut). Dan Majaz adalah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukkan suatu pengertian yang  bukan maknanya yang asli (bukan makna ynag pertama; bukan sejak semula).
2)      Sharah dan Kinayah
a.       Sharah
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.
Bentuk lafadz sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai
b.      Kinayah
Dalam pengertian istilah hukum, kinayah adalah :“Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil”.Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah, karena masih memerlukan penjelasan Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu
c.       Ta’wil



Takwil yaitu penafsiran makna Terminologis, dan pembahasaan tentang apa-apa yng ditakwilkan kepadanyadari pemahaman-pemahaman yang masih umum[9].
Dalam pengertian lain, Takwil adalah meniadakan sesuatu perkataan dari makna yang terang kepada makna yang terang karena ada satu dalil yang menyebab kan makna kedua tersebut harus dipakai[10]
3.      Lafadz dari segi kandungan pengertiannya
1)      Lafadz ‘Am (Umum)
‘Amm yaitu suatu lafadz yang menunjukkan dimana ditempatkan secara lughawi meliputi dan semuanya iru berlaku untuk semua ifradnya.[11]
Al-‘amm (keumuman) ialah lafadz yang menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh objek-objeknya seperti: 
أنَّ اْلاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ 
“sesungguhnya manusia itu dalam kerugian….”.
Lafadz Insan adalah umum, yakni menunjukkan pengertian menyeluruh atas semua orang.
2)      Lafadz Khusush
Khash adalah lafadz yang mengandung satu satu pengertian tunggal secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
Sedangkan Saiful Hadi mengatakan lafadz khusus adalah lafadz yang menunjukkan arti satu atau lebih tapi masih dapat di hitung atau terbatas, seperti : رَجُلٌ, رَجُلاَنِ, أَلْفُ رِجَالٍ
Jadi yang dimaksud dengan khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan
3)      Takhshis
Takhsish dalam istilah ushul yaitu menyatakan maksudsyari’ dari hal ‘Am[12]. Lebih singkat lagi takhsish itu merupakan penjelasan atau menjelaskan.
4)      Muthlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
5)      Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu.
4.      Lafadz Dari Segi Dilalah (Penunjukan) Atas Hukum.
Dalalah lafad itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafad nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahuiketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
pada dasarnya yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. sementara itu yang dimaksud Dalalah yaitu cara penunjukkan lafal atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafal atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim



5.      Lafadz Dari Segi Sighat Taklif
1)      Amar (perintah)
Menurut bahasa arab artinya perintah, menurut istilah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan.[13]
b.      Syarat yang harus ada pada kata Amr (permintaan) adalah :
-          Harus berupa ucapan permintaan (Amr) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
-          Harus berbentuk kata permintaan (Amr)
-          Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu berstatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
-          Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do’a.
c.       Bentuk-bentuk ‘Amr
Menurut Hudhori Bik di dalam Tarikh Tasyri disampaikan beberapa bentuk Amr antara lain:
-          Melalui lafadz amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan).
-          Menggunakan lafadz kutiba atau diwajibkan.
-          Perintah yang menggunakan kata kerja perintah langsung 
-          Perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi pelakuknya.



2)      Nahi
Dalam bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u). Menurut istilah meminta untuk  meninggalkan  sesuatu  perbuatan dari atasan kepada bawahan [14]
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Dengan demikian jika suatu perbuatan itu dilarang maka saat itu juga harus segera ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang masa.
Bentuk-bentuk Nahi:
a.       Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang
b.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan
c.       Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan
d.      Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan,
e.       Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan
f.        Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih,
g.       Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan
h.       Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.






KESIMPULAN

Kaidah Lughawiyah  adalah kaidah yang dirumuskan oleh para ‘ulama berkaitan dengan maksud dan tujuan ungkapan-ungkapan bahasa arab yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu sendiri, baik yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan sastra, prosa dan lain sebagainya,
Lafadz dari segi kejelasan Artinya terdiri dari Lafadz yang terang artinya (dzahiru dalalah) dan yang tidak terang arinya (khafiyud dalalah). Lafadz dari segi penggunaannya terdiri dari hakikat dan majaz, sharah dan kinayah, dan takwil. Lafadz dari kandungan pengertiannya terdiri dari lafadz ‘am dan khas, takhsis, muthlaq dan muqayyad.Lafadz dari segi dilalah atas hukum. lafadz dari segi sighat taklif terdiri dari amar dan nahi.





DAFTAR PUSTAKA



Sumber buku:

Ramayulis dkk. 1989. Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia.

Khallaf, Syekh Abdul Wahhab. 1999. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta

Hakim, Ayatullah Muhammad. 2012. Ulumul Qur’an. Jakarta: Al Huda.

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Prenada Media Grup.

Sumber internet:




[1] MahasiswaPaiSemester.3.Ummgl
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2011), hlm, 2.
[3] Ramayulis , et al., Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), hlm. 86.
[4] Syekh Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Usul Fikih, Terj. Halimuddin,( (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), hlm. 202.

[5] Ibid ., hlm. 206.
[6] Ibid., hlm. 208.
[7] Ibid., hlm. 212.
[8] Ibid., hlm. 218.
[9] Ayatullah Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2012), hlm. 345.
[10] Ramayulis, et al., Op.cit.,  hlm. 86.
[11] Syekh Abdul Wahhab Khalaf, Op.cit., hlm. 227.

[12] Ibid., hlm. 233.

[13] Ramayulis, et al., Op.cit., hlm. 89.
[14]Ibid., hlm. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Tentang, Aku, Kau dan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم   Syarat-syarat mencari ilmu اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِب...

Popular