METODE PENETAPAN HUKUM
MELALUI
PENDEKATAN BAHASA
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Tengah Semester
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Subur. M.Pd.I
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAGELANG
2017
METODE PENETAPAN HUKUM
MELALUI PENDEKATAN BAHASA
Oleh: Siti
Kholifatul Karimah[1]
A.
Pendahuluan
Sumber
asasi hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis diungkapkan dalam bahasa Arab.
Untuk dapat memahami hukum-hukum yang ada di dalamnya, maka seorang mujtahid
yang akan menggali hukum-hukum tersebut harus memahaminya secara komprehensif.
Untuk itu, ia harus memahami Bahasa Arab dengan segala aspeknya, sebagai bahasa
al-Qur’an dan hadis. Suatu hal yang tidak masuk akal kalau seseorang yang tidak
memahami bahasa Arab akan dapat mengistinbath hukum secara maksimal dari al-Qur’an
dan hadis yang berbahasa Arab. Sebab itu, al-Ghazali menyebut kaidah kebahasaan
sebagai pilarushûl al-fiqh, yang dengannya paramujtahid dapat menggali dan
memetik hukum dari sumber-sumbernya. Setiap usaha untuk memahami dan menggali
hukum dari teks al-Qur’an dan Sunnah sangat bergantung kepada kemampuan
memahami Bahasa Arab, maka para ahli ushul al-fiqh menetapkan bahwa pemahaman
teks dan penggalian hukum harus berdasarkan pada kaidah kebahasaan.
B.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Kaidah Lughawiyah
2.
Untuk
mengetahui ruang lingkup kaidah lughawiyah
3.
Untuk
mengetahui pembagian Kaidah Lughawiyah berdasarkan ruang lingkupnya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kaidah Lughowiyah
Kaidah Lughawiyah adalah
kaidah yang dirumuskan oleh para ‘ulama berkaitan dengan maksud dan tujuan
ungkapan-ungkapan bahasa arab yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu
sendiri, baik yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan sastra, prosa dan lain
sebagainya. Artinya nash-nash Al-Qur’an dan Hadits adalah bahasa arab. Untuk
mengetahui hukum-hukum dalam kedua nash tersebut secara sempurna dan benar para
‘ulama melakukan penelitian tentang gaya bahasa arab serta meneliti cara
penujukan lafadz nash yang memakai bahasa arab kepada arti yang ditujunya.
B.
Ruang Lingkup
Kaidah Lughowiyah[2]
Ruang
lingkup kaedah bahasa (lughawy) itu mengacu pada empat segi yang sebagi
berikut:
1.
Kepada lafazh-lafaz
nash dari segi kejelasan dan kekuatan dalalah-nya tehadap pengertian
yang dimaksud.
2. Dari
segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunakan ibarat yang sharih (ungkapan
yang jelas), ataukah menggunakan isyarat yang mengandung makna yang tersirat;
dan apakah memakai manthuq ataukah mafhum.
3. .Dari
segi cakupan lafazh dan sasaran dalalah-nya, berupa lafadz umum
dan lafadz yang husus, dan lafaz muqayyad atau mutlaq.
4. Dari
segi bentuk runtutan(sighat taklif-nya)
C. Macam-Macam Lafadz Berdasarkan Ruang Lingkupnya.
1. Lafadz Dari Segi Kejelasan Artinya
1) Lafadz yang terang artinya (dzahiru dalalah)
dzhohirud
dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk
kepada makna yang dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafadz itu sendiri. Artinya
untuk memahami makna dari lafadz tersebut tidak tergantung kepada suatu hal
dari luar. Dzahirud dalalah itu
dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu dzhahir, nash, mufassar,
dan muhkam.
a. Dzhahir
Dzhahir
ialah suatu lafadz yang diragui antara dua pengertian, sedang salah satu
diantara keduanya jelas.[3]
Dzhahir juga
diartikan lafadz yang menunjukkan kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat(bentuk)
lafadz itu sendiri masih dapat di-takwil-kan, di-tafsir-kan dan
dapat pula di-nasakh-kan pada masa Rasulullah Saw. misalnyasurat
al-nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ
تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى
وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (An-Nisa’ 3)
Penunjukkan lafadz fankihu maa thaba lakum
minannisaa’i” ialah halalnya mengawiniwanita-wanita yang disenangi. Akan
tetapi kalau dicermati maksud yang sebenarnya adalah pembatasan jumlah wanita
yang boleh dinikahi, yaitu empat orang sekali waktu.
b. Nash
Nash dalam istilah ushul yaitu apa yang ditunjukan oleh
sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan[4]. Nash
merupakan lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik
olehlafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan masih dapat
ditakwilkan, ditafsirkan, dan dinasakh dimasa nabi Saw. misalnya surat
an-nisa’ ayat 12:
مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (an-Nisa’:
12)
Lafadz “washiyatin” dan
“dainin” dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna yang dikehendaki
oleh sighat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar, yaitu keharusan
mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang dari pada membagikan harta pusaka
kepada para ahli waris.
c. Mufassar
Mufassar dalam
Istilah Ushul yaitu apa yang menunjukan dengan sendirinya atas makna yang
terpisah dan terperinci.[5] Mufassar
adalah lafadz yang menunjukkan kepadamakna yang sebagaimanayang oleh sighat lafadz
itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi tidak dapat ditakwilkan dan
ditafsirkan selain oleh syari’ sendiri dan dapat menerima nasakh
pada zaman Nabi Saw. misalny, firman Allah dalam surat al-nur ayat 4:
فاجلدوا ثمانين جلدة
…maka deralah mereka de;apan puluh kali…
Lafadz tsamanina adalah mufassar.
Karena, arti yang dikehendaki sighat itu sendiri memang demikian
pengertian dan siyaqul kalamnya. Pengertian delapan puluh pada ayat itu
tidak dapat diubah dengan mengurangi ataupun menambah
d. Lafadz muhkam
Muhkam dalam
istilah Ushul, yaitu ap ayng menunjukkan atas arti yang tidak menerima
pembatalan yang tidak boleh dipertukar-tukarkan dengan sendirinyaoleh
dalil-dalil nyata.[6]
Lafadz muhkam
merupakan lafadz yang menunjukkan pada makna sebagaimana yang dikehendaki oleh sighat
lafadz itu dan siyaqul kalam, tetapi tidak dapat ditakwilkan, ditafsirkan,
dan dinasakh pada saat Rasulullah masih hidup. Demikian, lafadz muhkam
itu adalah lafadz mufassar yang tidak dapat dinasakh. Ia seperti
lafadz mufassar dari segi terangnya dalalah, tetapi dari segi
dalalah maknanya adalah lebih kuat daripada dhalalah makna lafadz mufassar.
2)
Lafadz Yang
Tidak Terang Artinya (Khafiyud Dalalah)
Kahfiyud
dalalah adalah lafadz yang penunjukkanya kepada makna yang
dikehendaki bukan oleh sighat itu sendiri, melainkan karenatergantung
kepada sesuatu dari luar. Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran
adanya kekaburan pengertian pada lafadnya.
a. Khafi
Lafadz khafi
adalah lafadz yang penunjukanya kepada maknanya jelas. Akan tetapi, penerapan
maknanya kepada sebagian satuanya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh
lafadz itu sndiri. Misalnya, sebagian satuanya mempunyai nama yang khas
atau mempunyai sifat yang berbeda dengan satuan yang lain sehingga menimbulkan
keraguan untuk dimasukkan kepada makna yang umum dari lafadz tersebut.
Sebagai contoh
kekaburan makna sebagian satuanya yang disebabkan adanya nama khas seperti
lafadz sariq(pencuri) dengan firman allah surat al-maidah ayat
38:
والسارق
والسارقة فاقطعوا أيديهما
Pencuri laki-laki dan
perempuan potonglah tangan keduanya…
Lafadz saariq menurut
ayat tersebut diterapkan untuk orang yang mengambil harta milik orang lain
secara sembvunyi dari tempat penyimpanan yang wajar. Dalalah lafadz
kepada maknanya yang demikian itu adalah jelas. Akan tetapi, dalam penerapanya
makna sariq terhadap sebagian satuanya terdapat suatu kekaburan.
Misalnya, menerapkan makna pencuri kepada nasyal(pencopet), yakni oranag
yang mengambil milik oarng lain tidak dengan cara sembvunyi. Lafadz nasyal
ini artinya berdbeda denmgan arti pencuri karena adanya unsure yang barlainan,
yaitu keberanaian dan kenekatan. Oleh lafadz itu memiliki unsur yang berlainan
dengan pencuri, ia diberi nama khusus.
Untuk menetapkan
apakah tindakan mencopet itu dapat dimasukkan kedalam tindakan mencuri agar
mereka dapat dilakukan hukuman potong tangan sebagaimana yang berlaku dalam
pencurian, memerlukan pembahasan dan penelitian yang cermat. Para ulama’
telah sepakat bahwa mencopet itu dapat dimasukkan dalam pengertian mencuri
sehingga ia harus dipotong tangan sebab, mencopet mempunyai unsur yang lebih
dari pada mencuri, yaitu adanya kenekatan.
b. Musykil
Yang dimaksud Musykil
dalam istilah ushul ialah lafadz yng tidak ditunjukkan dengan sighatnya tentang
apa yang dimksudkan itu. [7]Sehingga
lafadz musykil adalah lafadz yang sighatnya sendiri tidak
menunjukkan kepada makna yang dikehendaki. Akan tetapi, harus ada qarinah
dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.. perbedaan antara lafadz khafi
dan lafadz musykil adalah bahwa pada lafadz khafi kekaburan
maknanya bukan disebabkan dari lafadz itu sendiri, melainkan disebabkan adanya
keraguan makna atas sebagian satuanya karena sesuatu dari luar. Adapun
kekaburan makna pada lafadz musykil berasal dari lafadz itu sendiri
karena lafadz itu diciptakan untuk beberapa makna. Kemusykilan lafadz itu
timbul disebabkan oleh hal berikut:
Pertama,
karena lafadz itu musytarak. Yaitu lafadz yang diciptakan untuk beberapa
arti sedang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu(penjelasan
secara rinci telah ada pada bab sebelumnya.
Kedua,
adanya dua lafadzyang saling berlawanan. Artinya, kedua nash dan
jelasnya dalalahnya, tidak ada kesukaran sedikitpun. Akan tetapi,
kemusykilanya terletak dalam men-taufiq-kan (mengkompromikan) antara
kedua nash yang saling berlawanan itu. Sebagai contoh ayat al-nisa ayat 79dan78:
ما أصابك من حسنة فمن
الله وما أصابك من سيّئة فمن نفسك
Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari allah dan apa saja bencana yang
menimpamu adalah akibat dari kesalahanmu sendiri.
-
قل كل من عندالله
“Katakanlah
bahwa semuanya itu dari sisi allah”
Jalan untuk menghilangkan kemusykilan suatu lafadz
adalah dengan jalan berijtihad. Oleh karena itu, bila seorang mujtahid
menemukan lafadz nash yang musytarak hendaklah mencari qarinahnya untuk
menghilangkan kemusykilanya, dalam hal ini menegaskan nama di antara dua
buah nash yang menurut lahirnya berlawanan, hendaklah mencari takwilnya,
baik dari nash-nash yang lain, qaidah-qaidah syari’at maupun dari
hikmah tasyri’
c. Mutasyabih
Yang dimaksud Mutasyabih dalam istilah ushul,
yaitu lafadz yang tidak ditunjuukkan oleh lafadznya itu sendir kepada maksudnya
itu [8]atau lafadz yang shighatnya sendiri tidak
menunjukkan kepada makna yang dikehendakinya dan tidak didapati pula
qarinah-qarinah dari luar yang menjelaskannya. Misalnya huruf-hurus hijaiyah
yang dipergunakan sebagai pembukaan dalam beberapa surat al-Qur’an (mafati
hussuwar) seperti Alif Lam Mim. Dan ayat-ayat yang menurut lahirnya
menetapkan bahwa Allah itu serupa dengan makhluk. Misalnya mempunyai tangan.
Seperti firman Allah:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Tangan Allah di atas tangan mereka (al-Fath : 10)
Menanggapi ayat mutasyabih semacam itu para ulama ahli
kalam terbagi kepada dua golongan.
1) Golongan salaf (terdahulu) mengi’tiqadkan bahwa Tuhan adalah suci dari
sifat-sifat yang tidak patut baginya. Oleh karena itu, mereka menyerahkan
bulat-bulat pena’wilan ayat mutasyabihat kepada Allah
2) Golongan Khalaf (terkemudian) mentakwilkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan
pemakaian bahasa
2.
Lafadz dari
segi penggunaannya
1)
Haqiqah
(Hakikat) dan Majaz
Hakikat ialah lafal yang digunakan untuk menunjukkan
pengertian sesuatu secara tertentu berdasarkan pengguna yang asli (yang pertama
sejak terbentuknya lafal tersebut). Dan Majaz adalah suatu lafal yang digunakan
untuk menunjukkan suatu pengertian yang bukan maknanya yang asli (bukan makna ynag pertama; bukan sejak semula).
2)
Sharah dan
Kinayah
a.
Sharah
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan
penjelasan. menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud
dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala
diucapkan dan tidak mengandung makna lain.
Bentuk lafadz sharih adalah talak yang diucapkan
dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak
seperti kata talak atau cerai
b.
Kinayah
Dalam pengertian istilah hukum, kinayah adalah
:“Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan
oleh dalil”.Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak
dari lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah,
karena masih memerlukan penjelasan Kinayah adalah lafadz yang memerlukan
penjelasan. Menurut Jumhur Ulama kinayah adalah suatu ucapan talak
yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran.
Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu
c.
Ta’wil
Takwil
yaitu penafsiran makna Terminologis, dan pembahasaan tentang apa-apa yng
ditakwilkan kepadanyadari pemahaman-pemahaman yang masih umum[9].
Dalam pengertian lain, Takwil adalah meniadakan sesuatu perkataan
dari makna yang terang kepada makna yang terang karena ada satu dalil yang
menyebab kan makna kedua tersebut harus dipakai[10]
3.
Lafadz dari
segi kandungan pengertiannya
1)
Lafadz ‘Am
(Umum)
‘Amm yaitu suatu lafadz yang
menunjukkan dimana ditempatkan secara lughawi meliputi dan semuanya iru berlaku
untuk semua ifradnya.[11]
Al-‘amm (keumuman) ialah lafadz yang
menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh objek-objeknya seperti:
أنَّ
اْلاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ
“sesungguhnya
manusia itu dalam kerugian….”.
Lafadz
Insan adalah umum, yakni menunjukkan pengertian menyeluruh atas semua orang.
2)
Lafadz Khusush
Khash adalah lafadz yang mengandung
satu satu pengertian tunggal secara tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas.
Sedangkan Saiful Hadi mengatakan
lafadz khusus adalah lafadz yang menunjukkan arti satu atau lebih tapi masih
dapat di hitung atau terbatas, seperti : رَجُلٌ,
رَجُلاَنِ, أَلْفُ رِجَالٍ
Jadi yang dimaksud dengan khas ialah
lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau
beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan
3)
Takhshis
Takhsish dalam istilah ushul yaitu menyatakan
maksudsyari’ dari hal ‘Am[12]. Lebih
singkat lagi takhsish itu merupakan penjelasan atau menjelaskan.
4)
Muthlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti
tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq
didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap
maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau
sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
5)
Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti
terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu
satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu.
4.
Lafadz Dari
Segi Dilalah (Penunjukan) Atas Hukum.
Dalalah lafad
itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafad nash dan atas dasar
pengertian tersebut kita dapat mengetahuiketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
pada dasarnya yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah
segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan
dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
sementara itu yang dimaksud Dalalah
yaitu cara penunjukkan lafal atas sesuatu makna atau penunjukan suatu
lafal atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim
5.
Lafadz Dari
Segi Sighat Taklif
1)
Amar (perintah)
Menurut bahasa arab artinya
perintah, menurut istilah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan
untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan.[13]
b.
Syarat yang harus ada pada kata Amr (permintaan) adalah :
-
Harus berupa ucapan permintaan (Amr) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
-
Harus berbentuk kata permintaan (Amr)
-
Tidak ada tanda-tanda (Qarinah)
yang menunjukkan permintaan itu berstatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
-
Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya
do’a.
c. Bentuk-bentuk ‘Amr
Menurut Hudhori Bik di dalam Tarikh Tasyri disampaikan
beberapa bentuk Amr antara lain:
-
Melalui lafadz amara dan seakar dengannya yang mengandung perintah
(suruhan).
-
Menggunakan lafadz kutiba
atau diwajibkan.
-
Perintah yang menggunakan kata kerja perintah langsung
-
Perintah disertai janji kebaikan yang banyak bagi pelakuknya.
2) Nahi
Dalam bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u). Menurut istilah
meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dari atasan kepada
bawahan [14]
Nahi adalah suatu larangan
yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah
SWT kepada hamba-Nya.
Dengan demikian jika suatu perbuatan itu dilarang maka saat itu juga harus
segera ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang masa.
Bentuk-bentuk Nahi:
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha
atau yang searti dengannya yang secara bahasa berarti melarang
b.
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan
c.
Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan
d.
Larangan dengan
menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau
mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan,
e.
Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan
f.
Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih,
g.
Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan
h.
Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.
KESIMPULAN
Kaidah
Lughawiyah adalah kaidah yang dirumuskan
oleh para ‘ulama berkaitan dengan maksud dan tujuan ungkapan-ungkapan bahasa
arab yang lazim digunakan oleh bangsa arab itu sendiri, baik yang terdapat
dalam ungkapan-ungkapan sastra, prosa dan lain sebagainya,
Lafadz
dari segi kejelasan Artinya terdiri dari Lafadz yang terang artinya (dzahiru
dalalah) dan yang tidak terang arinya (khafiyud dalalah). Lafadz dari segi
penggunaannya terdiri dari hakikat dan majaz, sharah dan kinayah, dan takwil.
Lafadz dari kandungan pengertiannya terdiri dari lafadz ‘am dan khas, takhsis,
muthlaq dan muqayyad.Lafadz dari segi dilalah atas hukum. lafadz dari segi
sighat taklif terdiri dari amar dan nahi.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Ramayulis dkk. 1989. Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta:
Kalam Mulia.
Khallaf, Syekh Abdul Wahhab. 1999. Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Hakim, Ayatullah Muhammad. 2012. Ulumul Qur’an. Jakarta: Al Huda.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta:
Prenada Media Grup.
Sumber internet:
Misbahul Munir, “ Al –Qaidah Lughawiyah”, diakses dari http://googleweblight.com/?lite_url=http://krmubtadiin.blogspot.com/2015/01/al-qaidah-lughawiyah.html?m%3D1&ei=8oQybODI&lc=id-ID&s=1&m=509&host=www.google.co.id&ts=1510585507&sig=ANTY_L2AHIDY3nSkYh0jQ4FugDtkC4J3vw” ,
pada tanggal 15 November pukul 14.OO WIB
[4] Syekh Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Usul Fikih, Terj. Halimuddin,(
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999), hlm. 202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar