QAWA’IDUL FIQHIYYAH
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Subur, M.S.I
Disusun Oleh :
Hamam Fuadhi
|
16.0401.0034
|
Siti Kolifatul Karimah
|
16.0401.0047
|
Latifa Fatah
|
16.0401.0056
|
Taufik Sholihin
|
16.0401.0057
|
Fatchul Ismantoro
|
16.0401.0067
|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAGELANG
2017
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pentingnya peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu
syariah dari dahulu sampai sekarang menjadikan motivasi generasi muslim untuk
tetap mempelajarinya secara mendalam. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan
fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang
dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah
kaidah fiqh tersebut. Melalui kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang
bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
Sebagaimana telah
diketahui bahwa kewajiban generasi islam dalam zaman pembangunan masyarakat ini
adalah berusaha untuk menegakkan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara
menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air Indonesia. Karena tidak dapat
di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam dapat berdampak pada kerusakan bagi
masyarakat Islam.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh akan mengetahui
benang merah yang kemudian menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqh ?
2.
Bagiamana isi dan
penjelasan Kaidah Fiqh ke-21 sampai 40 ?
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN USHUL FIQH
DAN KAIDAH FIQH
1. Pengertian Ushul
Fiqih
Ushul fiqh berasal dari dua kata , yaitu ushul dan fiqh.
Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (اصل)
yang artinya kuat (rajin),pokok,sumber,atau dalil tempat berdirinya sesuatu.
Kalau ada pokok pasti ada cabang,sesuatu yang berada di bawah pokok tersebut
dinamai far’un (فرع) = cabang . perkataan
ushul fiqih ini sering juga di sebut dengan mushtahab, yatu sesuatu yang
menyertai sesuatu yang telah ada.
Dalam masalah Qiyas. Dimaksud dengan ushul yaitu pokok
yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan sesuatu (standar)
(مثبه به) artinya alat ukur.
Adapun kata fiqh menurut bahasa artinya memahami, mengerti,
yaitu bentuk masdar dari (فقه) artinya faham, mengerti,
pintar dan kepintaran. Sedangkan menurut istilah yaitu semua hukum yang dipetik
dari Al-quran dan sunnah rasul melalui usaha pemahaman dan ijtihad tentang
perbuatan orang mukallaf baik wajib, haram, mubah, sah atau selain dari itu
hanya berupa cabang-cabangnya saja.
Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari
dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum
dari dalil-dalil syara’
Dalam rumusan lain. Ushul fiqh adalah pembahasan tentang
dalil yang dapat menunjukkan kepada sesuatu hukum secara ijmal (garis besar)
yang masih memerlukan keterangan dengan menggunakan qaidah-qaidah tertentu.
2. Pengertian Kaidah
Ushul Fiqih
“Kaidah secara
etimologi diambil dari bahasa arab القاعدة yang
artinya adalah pondasi atau dasar. Sedangkan القواعد adalah
bentuk jama’ dari القاعدة. Maka kaedah secara
etimologi mempunyai arti dasar-dasar.
Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah
sebuah hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan
masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya. Syaikh Muhammad bin sholih al
utsaimin berkata dalam syarah ushul min ilmil ushul bahwasannya fiqih secara
bahasa terambil dari kata الفقه yang artinya adalah faham. Sedangkan secara istilah
adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yang berhubungan dengan amal perbuatan
hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
Dr Muhammad shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaedah
fiqih adalah hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami
permasalahan fiqih yang tercangkup dalam pembahasannya.
Kaidah fiqih juga disimpulkan oleh penulis pengertiannya
yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih
terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan
kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum
bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa
dengan suatu kaidah.
B. KAIDAH FIQIH
Sabda Rasulullah
SAW. :
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya :
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang
didapatkan ialah apa yang telah diniatkan.”(HR. Bukhari).
1.
Kaidah ke-21
العادة محكمة
Adat bisa dijadikan sandaran hukum.
Contoh kaidah :
a.
Seseorang menjual
sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang dikehendaki, maka berlaku harga
dan mata uang yang umum dipakai.
b.
Batasan sedikit,
banyak dan umumnya waktu haid, nifas dan suci bergantung pada kebiasaan (adat
perempuan sendiri).
2.
Kaidah ke-22
ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى
العرف
Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara’ dan tanpa
adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula dalam bahasa, maka segala
sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-‘urf) yang berlaku.
Contoh kaidah :
a.
Niat shalat cukup
dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan hati
pada saat niat shalat tersebut.
b.
Terkait dengan
kaidah tersebut, bahwasanya syara’ telah menentukan tempat niat di dalam hati,
tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat
shalat ........... rakaat”. Itu sudah cukup.
c.
Jual beli dengan
meletakkan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah tidak sah. Dan
menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiasaan.
3.
Kaidah ke-23
الاجتهاد لا ينقد بالاجتهاد
Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Contoh kaidah :
a.
Apabila dalam
menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihad kedua, maka
digunakan ijtihad kedua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak
memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama.
Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan
menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.
b.
Ketika seorang
hakim berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian ijtihadnya
berubah dari ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah (tidak
rusak).
4.
Kaidah ke-24
الاء يثار بالعبادة ممنوع
Mendahulukan orang lain dalam beribadah adalah dilarang.
Contoh kaidah :
c.
Mendahulukan orang
lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam shalat.
d.
Mendahulukan orang
lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu. Artinya, ketika kita hanya
memiliki sehelai kain untuk menutup aurat, sedangkan teman kita juga
membutuhkannya, maka kita tidak boleh memberikan kain itu kepadanya karena akan
menyebabkan aurat kita terbuka. Begitu pula dengan air yang akan kita gunakan
untuk bersuci, maka kita tidak boleh menggunakan air tersebut. Karena hal ini
berkaitan dengan ibadah.
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 148.
وَلِكُلٍّ
وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا
يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya :
“dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
5.
Kaidah ke-25
الاء يثار بغيرالعبادة مطلوب
Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan.
Contoh kaidah :
a.
Mendahulukan orang
dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
b.
Mendahulukan orang
lain untuk memilih pakaian.
c.
Mempersilahkan
orang lain untuk makan terlebih dulu.
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hasr (59) : 9.
وَالَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ
إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ
عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya :
“dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan
telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin),
atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.”
6.
Kaidah ke-26
تصرف الامام على الرعية منوط
بالمصلحة
Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dilakukan berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan.
Contoh kaidah :
a.
Seorang pemimpin
(imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak (mustahiq) dengan cara
membeda-bedakan di antara orang-orang yang tingkat kebutuhannya sama.
b.
Seorang pemimpin
pemerintahan, sebaiknya tidak mengangkat seorang fasiq menjadi imam shalat.
Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang baik
(makruh).
c.
Seorang pemimpin
tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal kepada seorang yang kurang
membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih membutuhkan.
Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عن
رَاعِيَةٌ
Artinya :
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan”.
7.
Kaidah ke-27
الحدود تسقط بالشبهات
Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat.
Contoh kaidah :
e.
Seorang laki-laki
tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual dengan wanita lain yang
disangka istrinya (wathi syubhat).
a.
Seseorang melakukan
hubungan seks dalam nikah mut’ah nikah tanpa wali atau saksi atau setiap
pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat dikenai had sebab masih adanya
perbedaan pendapat antara ulama, sebagian membolehkan nikah mut’ah dan nikah
tanpa wali dan sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
b.
Orang mencuri
barang yang disangka sebagai miliknya, atau milik bapaknya, atau milik anaknya,
maka orang tersebut tidak dikenai had.
c.
Orang meminum khamr
(arak) untuk berobat tidak dikenai had karena masih terdapat khilaf antar
ulama’.
d.
e.
Nabi SAW bersabda :
Tinggalkanlah oleh kamu sekalian had-had dikarenakan (adanya) berbagai ketidak
jelasan.
8.
Kaidah ke-28
ما لا يتم الواجب الا به فهو
واجب
Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna
kecuai dengan keberadaannya, maka hukumnya wajib.
Contoh kaidah :
a.
Wajib membasuh
bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat berwudhu.
b.
Wajibnya membasuh
bagian lengan atas dan betis pada saat membasuh lengan dan kaki.
c.
Wajibnya menutup
bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya menutup bagian
wajah bagi wanita.
9.
Kaidah ke-29
الخروج من الخلاف مستحبٌّ
Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab).
Contoh kaidah :
a.
Disunatkan
menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air ke kepala dengan
mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilaf denagn Imam Malik berpendapat
bahwa dalk dan isti’ab al-ro’sy (meneteskan kepala dengan air) adalah wajib
hukumnya.
b.
Disunatkan membasuh
sperma, yang menurut Imam Malik wajib hukumnya.
c.
Sunat men-qashar
shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah, karena keluar dari khilaf
dengan Abu Hanifah yang mewajibkannya.
d.
Disunatkan untuk
tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika membuang hajat, walaupun
dalam sebuah ruangan atau adanya penutup, karena untuk keluar dari khilaf Imam
Tsaury yang mewajibkannya.
Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat
sebagai berikut :
a.
Upaya mengatasi
perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain. Seperti lebih diutamakan
memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan dua salam) dari pada melanjutkannya.
Dalam hal ini pendapat Imam Abu Hanifah tidak dipertimbangkan karena adanya
ulama yang tidak membolehkan witir dengan digabungkan.
b.
Tidak bertentangan
dengan sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti disunatkannya
mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang ulama Hnafiah menganggap
hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima puluh orang sahabat,
Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat kedua tangannya.
c.
Kautnya temuan
tentang bukti perbedaan. Sehingga kecil kemungkinan terulangnya kesalahan
serupa. Dengan alasan itu, maka berpuasa bagi musafir yang mampu menahan lapar
dan dahaga adalah utama, dan tidak dipertimbangkan adanya pendapat para kaum
Zahiruasa musafir itu tidak sah.
10.
Kaidah ke-30
لرخصة لاتناط بالمعاص ا
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.
Contoh kaidah :
a.
Orang yang
bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena
bepergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.
b.
Orang yang
berpergian karena maksiat, walaupun dalam kondisi terpaksa juga tidak
diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi.
11.
Kaidah ke-31
الرخصة لاتناط بالشكّ
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan denan keraguan.
Contoh kaidah :
a.
Dalam perjalanan
pulang ke Grabag Magelang, si A merasa ragu mengenai jauh jarak yang ditempuh
dalam perjalanan tersebut, apakah sudah memenuhi syarat untuk meng-qashar
shalat atau belum. Dalam kondisi semacam ini , si A tidak boleh meng-qashar
shalat.
b.
Seorang yang
bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar, maka yang harus
diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.
12.
Kaidah ke-32
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
Sesuatu yang banyak aktivitasnya, maka banyak pula
keutamaannya.
Contoh kaidah :
a.
Shalat witir dengan
fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari pada wasl (tiga rakaat
dengan satu salam) karena bertambahnya niat, takbir dan salam.
b.
Orang melakukan
shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengah dari pahala orang yang
shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur miring maka pahalanya adalah
setengah dari orang yang shalat dengan duduk.
c.
Memisahkan
pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih utama dari pada
melaksanakan bersama-sama.
Rasulullah SAW bersabda: “Besarnya pahalamu tergantung
pada usahamu.” (HR. Muslim)
13.
Kaidah ke-33
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan maka
tidak boleh meninggalkan semuanya.
Contoh kaidah :
a.
Seorang yang tidak
mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu dengan dirham maka
lakukanlah.
b.
Seseorang yang tidak
mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang studi sekaligus, maka tidak
boleh meninggalkan semuanya.
c.
Seseorang yang
merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak sepuluh rakaat, maka
lakukanlah shalat malam empat rakaat.
Kaidah yang semakna dengan kaidah tersebut adalah
perkataan ulama ahli fiqh :
“Sesuatu yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka
tidak boleh tinggalkan sebagiannya.”
14.
Kaidah ke-34
الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu
yang sulit.
Contoh kaidah :
a.
Seorang yang
terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya membasuh anggota badan yang
tersisa ketika bersuci.
b.
Seseorang yang
mampu menutup sebagian auratnya, makaia wajib menutup aurat berdasarkan
kemampuannya tersebut.
c.
Orang yang mampu
membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib membaca sebagian yang
ia ketahui tersebut.
d.
Orang yang memiliki
harta satu nisab, namun setengah darinya berada di tempat jauh (ghaib) maka
harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada di tangannya.
Nabi SAW bersabda : “Sesuatu yang aku perintahkan maka
kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari Muslim)
15.
Kaidah ke-35
ما حرم فعله حرم طلبه
Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula
mencarinya.
Contoh kaidah :
a.
Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
b.
Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan upah
orang-orang yang meratapi kematian orang lain.
16.
Kaiidah ke-36
ما حرم اخذه حرم اعطاؤه
Sesuatu yang haram diambil, maka pula memberikannya.
Contoh kaidah :
a.
Memberikan riba atau upah perbuatan jahat kepada orang lain.
b.
Memberikan upah hasil meramal dan risywah kepada orang lain. Termasuk juga
upah meratapi kematian orang lain.
17.
Kaidah ke-37
الخير المتعدي افضل من القاصر
Kebaikan yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada
yang manfaatnya sedikit (terbatas).
Contoh kaidah :
a.
Mengajarkan ilmu
lebih utama daripada shalat sunah.
b.
Orang yang
menjalankan fardhu kifayah lebih istimewa karena telah menggugurkan dosa umat
daripada orang yang melakukan fardhu ‘ain.
18.
Kaidah ke-38
الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه
Rela akan sesuatu berarti rela dengan konsekuensinya.
Contoh kaidah :
a.
Menerima suami
istri dengan kekurangan yang dimiliki salah dari keduanya. Maka tidak boleh
mengembalikan kepada walinya.
b.
Seseorang meminta
tangannya dipotong dan berakibat kepada rusaknya anggota tubuh yang lain, maka
orang tersebut tidak boleh menuntut kepada pemotog tangan.
c.
Memakai wangi-wangian
sebelum melaksanakan ihram, tetapi wanginya bertahan sampai waktu ihram maka
tidak dikenai fidyah.
Kaidah yang memiliki makna sama dengan kaidah
tersebut yaitu :
Hal-hal yang timbul dari sesuatu
yang telah mendapat ijin tidak memiliki dampak apapun.”
19.
Kaidah ke-39
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar beserta ‘illatnya, baik dari sisi
wujudnya maupun ketiadaan ‘illatnya.
Contoh kaidah :
a.
Alasan diharamkannya
arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian terdeteksi bahwa arak
tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah
berubah menjadi cuka maka halal.
b.
Memasuki rumah
orang lain atau memakai pakainnya tanpa adanya ijin adalah haram hukumnya.
Namun ketika diketahui bahwa pemiliknya merelakan, maka tidak ada masalah di
dalamnya (boleh).
c.
Alasan
diharamkannya minum racun karena adanya unsur merusakkan. Andai kata unsur yang
merusakkan itu hilang, maka hukumnya menjadi boleh.
Nabi SAW bersabda :
“Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr
hukumnya haram.”
20. Kaidah ke-40
الاصل فى الآ شياء الاءباحة
Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu
diperbolehkan.
Contoh kaidah :
a.
Dua sahabat bernama
si A dan si B jalan-jalan ke Jakarta. Setelah lama berjalan-jalan menikmati
indahnya ibu kota, akhirnya mereka merasa lapar. Setelah melihat isi dompet
masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di restoran yang lumayan mewah tapi kemudian
keduanya ragu apakah daging pesanan mereka halal atau haram. Dengan
mempertimbangkan makna kaidah di atas, maka daging tersebut boleh dimakan.
b.
Tiba-tiba ada
seekor merpati yang masuk ke dalam sangkar burung milik si A. Ketika si A
melihat merpati tersebut dia merasa tertarik dan ingin memilikinya, namun ia
masih ragu apakah dia boleh memeliharanya atau tidak. Maka hukumnya burung
merpati tersebut boleh atau bebas untuk dimiliki.
c.
Ketika ragu akan
besar kecilnya kadar emas yang digunakan untuk menambal suatu benda maka hukum
benda tersebut boleh untuk digunakan.
d.
Memakan daging
Jerapah diperbolehkan, sebagaimana al-Syubki berkata sesungguhnya memakan
daging Jerapah hukumnya mubah.
Nabi SAW bersabda :
“Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu
yang diharamkan Allah adalah haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan
Allah merupakan pengampunan dari-Nya.
BAB III KESIMPULAN
Ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar
atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari
dalil-dalil syara’. Adapun kaedah fiqih adalah hukum atau pondasi yang bersifat
umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup dalam
pembahasannya.
Kaidah fiqhiyah berfungsi sebagai tenoat bagi para
mujahid mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyah, juga sebagai kaidah
(dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang ditunjuk oleh nash
yang sharikh yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu,
setiap orang yang sanggup menguasai kaidah-kaidah fiqhiyah niscaya mampu
menguasai seluruh bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hukum
setiap peristiwa yang belum atau tidak ada nashnya
DAFTAR PUSTAKA
Suyatno. 2016. Dasar-dasar dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
https://googleweblight.com/?lite_url=https://takwilsantri.blogspot.com/2017/03/40-kaidah-ushul-fiqih-beserta-contohnya.html?m%3D1&ei=16Ci6kYh&lc=id-ID&s=1&m=509&host=www.google.co.id&ts=1514762158&sig=AOyes_RwKaAC-9c_tIIyD6QFhmRGlCDsag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar