Jumat, 02 Februari 2018

QAWA’IDUL FIQHIYYAH

QAWA’IDUL FIQHIYYAH
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Subur, M.S.I



Disusun Oleh :
Hamam Fuadhi
16.0401.0034
Siti Kolifatul Karimah
16.0401.0047
Latifa Fatah
16.0401.0056
Taufik Sholihin
16.0401.0057
Fatchul Ismantoro
16.0401.0067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2017



BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pentingnya peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah dari dahulu sampai sekarang menjadikan motivasi generasi muslim untuk tetap mempelajarinya secara mendalam. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.
 Sebagaimana telah diketahui bahwa kewajiban generasi islam dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqh Islam keseluruh bagian tanah air Indonesia. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqh islam dapat berdampak pada kerusakan bagi masyarakat Islam.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh akan mengetahui benang merah yang kemudian  menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.  

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqh ?
2.      Bagiamana isi dan penjelasan Kaidah Fiqh ke-21 sampai 40 ?

BAB II PEMBAHASAN


A.     PENGERTIAN USHUL FIQH DAN KAIDAH FIQH


1.      Pengertian Ushul Fiqih

Ushul fiqh berasal dari dua kata , yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (اصل) yang artinya kuat (rajin),pokok,sumber,atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Kalau ada pokok pasti ada cabang,sesuatu yang berada di bawah pokok tersebut dinamai far’un (فرع) = cabang . perkataan ushul fiqih ini sering juga di sebut dengan mushtahab, yatu sesuatu yang menyertai sesuatu yang telah ada.
Dalam masalah Qiyas. Dimaksud dengan ushul yaitu pokok yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan sesuatu (standar)
(مثبه به) artinya alat ukur.
Adapun kata fiqh menurut bahasa artinya memahami, mengerti, yaitu bentuk masdar dari (فقه) artinya faham, mengerti, pintar dan kepintaran. Sedangkan menurut istilah yaitu semua hukum yang dipetik dari Al-quran dan sunnah rasul melalui usaha pemahaman dan ijtihad tentang perbuatan orang mukallaf baik wajib, haram, mubah, sah atau selain dari itu hanya berupa cabang-cabangnya saja.
Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’
Dalam rumusan lain. Ushul fiqh adalah pembahasan tentang dalil yang dapat menunjukkan kepada sesuatu hukum secara ijmal (garis besar) yang masih memerlukan keterangan dengan menggunakan qaidah-qaidah tertentu.

2.      Pengertian Kaidah Ushul Fiqih

 “Kaidah secara etimologi diambil  dari bahasa arab القاعدة  yang artinya adalah pondasi atau dasar. Sedangkan القواعد  adalah bentuk jama’ dari القاعدة. Maka  kaedah secara etimologi mempunyai arti dasar-dasar.
Al-jurjani mengungkapkan makna terminologinya adalah sebuah hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya. Syaikh Muhammad bin sholih al utsaimin berkata dalam syarah ushul min ilmil ushul bahwasannya fiqih secara bahasa terambil dari kata الفقه yang artinya adalah faham. Sedangkan secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yang berhubungan dengan amal perbuatan hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
Dr Muhammad shidqi al burnu menyimpulkan bahwa kaedah fiqih adalah hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup dalam pembahasannya.
Kaidah fiqih juga disimpulkan oleh penulis pengertiannya yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok. dan kaedah-kaedah fiqih juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah.





B.     KAIDAH FIQIH

Sabda Rasulullah SAW. :
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya :
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang telah diniatkan.”(HR. Bukhari).

1.      Kaidah ke-21
العادة محكمة
Adat bisa dijadikan sandaran hukum.
Contoh kaidah :
a.       Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang dikehendaki, maka berlaku harga dan mata uang yang umum dipakai.
b.      Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haid, nifas dan suci bergantung pada kebiasaan (adat perempuan sendiri).

2.      Kaidah ke-22
ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف

Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara’ dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula dalam bahasa, maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-‘urf) yang berlaku.
Contoh kaidah :
a.       Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut.
b.      Terkait dengan kaidah tersebut, bahwasanya syara’ telah menentukan tempat niat di dalam hati, tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat ........... rakaat”. Itu sudah cukup.
c.       Jual beli dengan meletakkan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah tidak sah. Dan menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiasaan.

3.      Kaidah ke-23
الاجتهاد لا ينقد بالاجتهاد

Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Contoh kaidah :
a.       Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihad kedua, maka digunakan ijtihad kedua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.
b.      Ketika seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian ijtihadnya berubah dari ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah (tidak rusak).

4.      Kaidah ke-24
الاء يثار بالعبادة ممنوع

Mendahulukan orang lain dalam beribadah adalah dilarang.
Contoh kaidah :
c.       Mendahulukan orang lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam shalat.
d.      Mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu. Artinya, ketika kita hanya memiliki sehelai kain untuk menutup aurat, sedangkan teman kita juga membutuhkannya, maka kita tidak boleh memberikan kain itu kepadanya karena akan menyebabkan aurat kita terbuka. Begitu pula dengan air yang akan kita gunakan untuk bersuci, maka kita tidak boleh menggunakan air tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan ibadah.

Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 148.
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya :
“dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

5.      Kaidah ke-25
الاء يثار بغيرالعبادة مطلوب

Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan.
Contoh kaidah :
a.       Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
b.      Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
c.       Mempersilahkan orang lain untuk makan terlebih dulu.

Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hasr (59) : 9.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Artinya :
“dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.”

6.      Kaidah ke-26
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dilakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.
Contoh kaidah :
a.       Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak (mustahiq) dengan cara membeda-bedakan di antara orang-orang yang tingkat kebutuhannya sama.
b.      Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengangkat seorang fasiq menjadi imam shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang baik (makruh).
c.       Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal kepada seorang yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih membutuhkan.

Rasulullah SAW bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عن رَاعِيَةٌ
Artinya :
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan”.

7.      Kaidah ke-27
الحدود تسقط بالشبهات
Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat.
Contoh kaidah :
e.       Seorang laki-laki tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual dengan wanita lain yang disangka istrinya (wathi syubhat).
a.       Seseorang melakukan hubungan seks dalam nikah mut’ah nikah tanpa wali atau saksi atau setiap pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat dikenai had sebab masih adanya perbedaan pendapat antara ulama, sebagian membolehkan nikah mut’ah dan nikah tanpa wali dan sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
b.      Orang mencuri barang yang disangka sebagai miliknya, atau milik bapaknya, atau milik anaknya, maka orang tersebut tidak dikenai had.
c.       Orang meminum khamr (arak) untuk berobat tidak dikenai had karena masih terdapat khilaf antar ulama’.
d.       
e.       Nabi SAW bersabda : Tinggalkanlah oleh kamu sekalian had-had dikarenakan (adanya) berbagai ketidak jelasan.

8.      Kaidah ke-28
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuai dengan keberadaannya, maka hukumnya wajib.
Contoh kaidah :
a.       Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat berwudhu.
b.      Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis pada saat membasuh lengan dan kaki.
c.       Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.

9.      Kaidah ke-29
الخروج من الخلاف مستحبٌّ
Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab).
Contoh kaidah :
a.       Disunatkan menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air ke kepala dengan mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilaf denagn Imam Malik berpendapat bahwa dalk dan isti’ab al-ro’sy (meneteskan kepala dengan air) adalah wajib hukumnya.
b.      Disunatkan membasuh sperma, yang menurut Imam Malik wajib hukumnya.
c.       Sunat men-qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah, karena keluar dari khilaf dengan Abu Hanifah yang mewajibkannya.
d.      Disunatkan untuk tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika membuang hajat, walaupun dalam sebuah ruangan atau adanya penutup, karena untuk keluar dari khilaf Imam Tsaury yang mewajibkannya.

Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut :
a.       Upaya mengatasi perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain. Seperti lebih diutamakan memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan dua salam) dari pada melanjutkannya. Dalam hal ini pendapat Imam Abu Hanifah tidak dipertimbangkan karena adanya ulama yang tidak membolehkan witir dengan digabungkan.
b.      Tidak bertentangan dengan sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti disunatkannya mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang ulama Hnafiah menganggap hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima puluh orang sahabat, Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat kedua tangannya.
c.       Kautnya temuan tentang bukti perbedaan. Sehingga kecil kemungkinan terulangnya kesalahan serupa. Dengan alasan itu, maka berpuasa bagi musafir yang mampu menahan lapar dan dahaga adalah utama, dan tidak dipertimbangkan adanya pendapat para kaum Zahiruasa musafir itu tidak sah.

10.  Kaidah ke-30
لرخصة لاتناط بالمعاص ا
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.
Contoh kaidah :
a.       Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena bepergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.
b.      Orang yang berpergian karena maksiat, walaupun dalam kondisi terpaksa juga tidak diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi.

11.  Kaidah ke-31
الرخصة لاتناط بالشكّ
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan denan keraguan.
Contoh kaidah :
a.       Dalam perjalanan pulang ke Grabag Magelang, si A merasa ragu mengenai jauh jarak yang ditempuh dalam perjalanan tersebut, apakah sudah memenuhi syarat untuk meng-qashar shalat atau belum. Dalam kondisi semacam ini , si A tidak boleh meng-qashar shalat.
b.      Seorang yang bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar, maka yang harus diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.

12.  Kaidah ke-32
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
Sesuatu yang banyak aktivitasnya, maka banyak pula keutamaannya.
Contoh kaidah :
a.       Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari pada wasl (tiga rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya niat, takbir dan salam.
b.      Orang melakukan shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengah dari pahala orang yang shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur miring maka pahalanya adalah setengah dari orang yang shalat dengan duduk.
c.       Memisahkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih utama dari pada melaksanakan bersama-sama.

Rasulullah SAW bersabda: “Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu.” (HR. Muslim)

13.  Kaidah ke-33
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan maka tidak boleh meninggalkan semuanya.
Contoh kaidah :
a.       Seorang yang tidak mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu dengan dirham maka lakukanlah.
b.      Seseorang yang tidak mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang studi sekaligus, maka tidak boleh meninggalkan semuanya.
c.       Seseorang yang merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak sepuluh rakaat, maka lakukanlah shalat malam empat rakaat.

Kaidah yang semakna dengan kaidah tersebut adalah perkataan ulama ahli fiqh :
“Sesuatu yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka tidak boleh tinggalkan sebagiannya.”

14.  Kaidah ke-34
الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit.
Contoh kaidah :
a.       Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya membasuh anggota badan yang tersisa ketika bersuci.
b.      Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, makaia wajib menutup aurat berdasarkan kemampuannya tersebut.
c.       Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib membaca sebagian yang ia ketahui tersebut.
d.      Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada di tempat jauh (ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada di tangannya.

Nabi SAW bersabda : “Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari Muslim)





15.  Kaidah ke-35
ما حرم فعله حرم طلبه
Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya.
Contoh kaidah :
a.       Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
b.      Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan upah orang-orang yang meratapi kematian orang lain.

16.  Kaiidah ke-36
ما حرم اخذه حرم اعطاؤه
Sesuatu yang haram diambil, maka pula memberikannya.
Contoh kaidah :
a.       Memberikan riba atau upah perbuatan jahat kepada orang lain.
b.      Memberikan upah hasil meramal dan risywah kepada orang lain. Termasuk juga upah meratapi kematian orang lain.

17.  Kaidah ke-37
الخير المتعدي افضل من القاصر
Kebaikan yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada yang manfaatnya sedikit (terbatas).
Contoh kaidah :
a.       Mengajarkan ilmu lebih utama daripada shalat sunah.
b.      Orang yang menjalankan fardhu kifayah lebih istimewa karena telah menggugurkan dosa umat daripada orang yang melakukan fardhu ‘ain.

18.  Kaidah ke-38
الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه
Rela akan sesuatu berarti rela dengan konsekuensinya.
Contoh kaidah :
a.       Menerima suami istri dengan kekurangan yang dimiliki salah dari keduanya. Maka tidak boleh mengembalikan kepada walinya.
b.      Seseorang meminta tangannya dipotong dan berakibat kepada rusaknya anggota tubuh yang lain, maka orang tersebut tidak boleh menuntut kepada pemotog tangan.
c.       Memakai wangi-wangian sebelum melaksanakan ihram, tetapi wanginya bertahan sampai waktu ihram maka tidak dikenai fidyah.
Kaidah yang memiliki makna sama dengan kaidah tersebut  yaitu :
Hal-hal yang timbul dari sesuatu  yang telah mendapat ijin tidak memiliki dampak apapun.”

19.  Kaidah ke-39
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar beserta ‘illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan ‘illatnya.
Contoh kaidah :
a.       Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah  berubah menjadi cuka maka halal.
b.      Memasuki rumah orang lain atau memakai pakainnya tanpa adanya ijin adalah haram hukumnya. Namun ketika diketahui bahwa pemiliknya merelakan, maka tidak ada masalah di dalamnya (boleh).
c.       Alasan diharamkannya minum racun karena adanya unsur merusakkan. Andai kata unsur yang merusakkan itu hilang, maka hukumnya menjadi boleh.

Nabi SAW bersabda :
“Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram.”

20.  Kaidah ke-40
الاصل فى الآ شياء الاءباحة
Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan.
Contoh kaidah :
a.       Dua sahabat bernama si A dan si B jalan-jalan ke Jakarta. Setelah lama berjalan-jalan menikmati indahnya ibu kota, akhirnya mereka merasa lapar. Setelah melihat isi dompet masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di  restoran yang lumayan mewah tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesanan mereka halal atau haram. Dengan mempertimbangkan makna kaidah di atas, maka daging tersebut boleh dimakan.
b.      Tiba-tiba ada seekor merpati yang masuk ke dalam sangkar burung milik si A. Ketika si A melihat merpati tersebut dia merasa tertarik dan ingin memilikinya, namun ia masih ragu apakah dia boleh memeliharanya atau tidak. Maka hukumnya burung merpati tersebut boleh atau bebas untuk dimiliki.
c.       Ketika ragu akan besar kecilnya kadar emas yang digunakan untuk menambal suatu benda maka hukum benda tersebut boleh untuk digunakan.
d.      Memakan daging Jerapah diperbolehkan, sebagaimana al-Syubki berkata sesungguhnya memakan daging Jerapah hukumnya mubah.

Nabi SAW bersabda :                                                 
“Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu yang diharamkan Allah adalah haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan Allah merupakan pengampunan dari-Nya.

BAB III KESIMPULAN


Ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’. Adapun kaedah fiqih adalah hukum atau pondasi yang bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan fiqih yang tercangkup dalam pembahasannya.
Kaidah fiqhiyah berfungsi sebagai tenoat bagi para mujahid mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyah, juga sebagai kaidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang ditunjuk oleh nash yang sharikh yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang sanggup menguasai kaidah-kaidah fiqhiyah niscaya mampu menguasai seluruh bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hukum setiap peristiwa yang belum atau tidak ada nashnya



DAFTAR PUSTAKA


Suyatno. 2016. Dasar-dasar dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
https://googleweblight.com/?lite_url=https://takwilsantri.blogspot.com/2017/03/40-kaidah-ushul-fiqih-beserta-contohnya.html?m%3D1&ei=16Ci6kYh&lc=id-ID&s=1&m=509&host=www.google.co.id&ts=1514762158&sig=AOyes_RwKaAC-9c_tIIyD6QFhmRGlCDsag


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Tentang, Aku, Kau dan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم   Syarat-syarat mencari ilmu اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِب...

Popular