Al-ISLAM
DAN KEMUHAMMADIYAH
Paper ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir
Semester
Mata Kuliah : Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Dosen Pengampu : Afga Siddiq R.
Disusun oleh :
Nur Rochman : 16.0401.0062
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2016/2017
Soal Ujian Akhir Semester II
1.
Bagaimanakah ber islam yang benar menurut muhammadiyah?
2.
Tulislah biografi tokoh muhammadiyah yang kamu kagumi dan kontribusinya
bagi
persyarikatan muhammadiyah
3.
Kontribusi apakah yang akan kamu lakukan
untuk muhammadiyah?
Jawaban:
1. Menurut
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah, agama islam adalaha apa yang
diturunkan oleh allah didalam al-quran dan yang tersebut didalam Sunnah yang
shahih, berupa perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di
dunia dan di akhirat.
Didalam
pengamalannya, seseorang harus mempelajari islam secara tepat. Namun, yang
terjadi didalam masyarakat, orang-orang memahami islam hanya ikut-ikutan
sesepuh mereka akibatnya, islam yang dikerjakannya pun tidak sesuai dan bahkan
menyimpang dari ajaran islam. Hal ini lah yang melatar belakangi K.H Ahmad
Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan tujuan untuk Memurnikan ajaran islam.
KHA.
Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku
untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep
normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu
rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat
qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w.
perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya
“memerlukan ijtihad”.
Ijtihad
dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu
dicatat bahwa Dia menganjurkan umat
Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara kritis. Ia
menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada
akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam
agar memiliki keberanian untuk
berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat
untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid
menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara
para Mujtahid dan Muttabi’ yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan,
bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan
terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk
dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan Muhammad Abduh: “al-Muhâfadhah ‘Alâ
al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah” .
Prinsip-prinsip
Utama Pemahaman Agama Islam
Muhammadiyah
memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam:
1. Ajaran agama Islam yang otentik
(sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat
absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus memahaminya.
2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan
as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran
agama (Islam) bersifat relatif.
Dari kedua prinsip utama tersebut,
pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama yang
dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan
kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah
tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti
pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama
(Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami
oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang
interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam
yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah
usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun
dan oleh siapa pun.
1.
Mengamalkan
al-Quran
Untuk
memahami al-Quran – menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen
yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam
kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk
memahami Islam, yaitu: “ijtihad”.
Kandungan
al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan
kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat
terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat
utama bagi setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun
semua orang harus sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat
menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’
kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya bernilai “relatif”. Akhirnya,
kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman orang
terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai “kebenaran”
al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang
“tafsir atas al-Quran” adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan
bahwa Manusia akan “sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena
itu, yang dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat
kemampuannya untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus
menghasilkan kebenaran absolut”, karena kenisbian akal manusia tidak akan
pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah:
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ…
Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala [dari kebajikan] yang diusahakannya dan ia mendapat siksa [dari
kejahatan] yang dikerjakannya… (QS al-Baqarah, 2: 286)
Akhirnya,
kita pun harus sadar bahwa tidak akan ada pendapat (hasil pemahaman al-Quran)
yang pasti benar. Tetapi sekadar “mungkin benar”.
2.
Mengamalkan
Ajaran Islam Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah
Ketika
kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun
terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk
as-Sunnah sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil
pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk
perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang
“terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma “’ishmah
ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar
dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya.
Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu
dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain
Rasulullah s.a.w.
Persoalannya
sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk
menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang
paling tepat untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada
ketidaktepatan dalam menerjemahkannya (as-Sunnah), karena
keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun sering melakukan kesalahan
dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada
kutub ekstrem “tekstual”, atau “rasional” yang mengarah pada kontekstualisasi
yang eksesif (berlebihan).
Untuk
itu, menurut pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun
kearifan” menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti –
misalnya – apa yang dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam
Kontekstual” yang dilakukan – misalnya — oleh Yusuf al-Qaradhawi, dengan
berbagai modifikasi yang diperlukan.
3.
Berislam
Secara Dewasa
Muhammadiyah
selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang
dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath”
yang proporsional.
Muhammadiyah
menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas
dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi
Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam
Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam
mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang
“marjûh”.
Pola
pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah
berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh
Muhammadiyah secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang
kontekstual dan bersifat (lebih) operasional.
Ijtihâd
bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran
maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang
telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash,
karena adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk
penemuan hukum dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena
tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk
melakukan qiyâs.
Hasil
pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian
ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linear
atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam
wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan
perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan
untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung
jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang
secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan “reinterpretasi” baik
yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif.
Sekali
lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan
bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab,
keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal
dan sekaligus vertikal”.
2. Tokoh
Muhammadiyah:
K.H
Fakih Usman (1968-1971)
Kyai
Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia
berasal dari keluarga santri sederhana dan taat beribadah. Faqih Usman
merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan, baik
pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Masa
kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari
ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar di pondok pesantren di Gresik
tahun 1914-1918. Kemudian, antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan
di pondok pesantren di luar daerah Gresik. Dengan demikian, ia juga banyak
menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena
penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan
majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan
kemerdekaan. Apalagi, pada penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia
Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Faqih Usman dikenal memiliki etos
enterpreneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang dilakukannya cukup besar
dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan
alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia
juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Keterlibatannya
dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat sebagai Ketua
Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah
satu Cabang Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena kepiawaiannya
sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih
Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika
Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia
menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada
tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam
susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih
sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang
meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode
1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena
ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968.
Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin
yang masih sangat muda.
Faqih Usman banyak terlibat aktif di
berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengembangan Muhammadiyah. Dia
pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah Jawa
Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulannya,
sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.
Pada
tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia
menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional
Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas)
bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad.
Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil
dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam
Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus
Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun
1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan.
Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno
menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga
ketika rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde Baru, maka Faqih Usman
bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) dan
Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota
politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan
Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau
merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang.
Faqih
Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah
dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim
Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951
ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air
yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia
dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April
l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri
Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan
Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU
menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan
pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih.
Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru
mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia
masih tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya
sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun
l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam
resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya
gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara.
Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan
konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui
rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti
Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk
mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut.
Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam
keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah yang
menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya.
Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH
Fakih Usman merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan
Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya diterima sebagai
pedoman bagi warga Muhammadiyah.
Kontribusi K.H Fakih Usman terhadap
Muhammadiyah
• Menjabat ketua ranting Muhammadiyah Gresik.
• Kemudian memimpin cabang Muhammadiyah di
Gresik.
• Menjabat Konsul Muhammadiyah
surabaya(1926).
• Ketua PP muhammadiyah (1969-1971).
•
Dirumuskannya”Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah”
3. Kontribusi
yang akan saya lakukan terhadap Persyarikatan Muhammadiyah
Ø Untuk
saat ini, sebagai Mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah, saya bisa berkontribusi
dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pihak kampus sebagai
rasa kepedulian saya terhadap Persyarikatan Muhammadiyah.
Ø Membayar
Infak dengan ikhlas, dengan tujuan untuk membantu berkembangnya Muhammadiyah di
Indonesia.
Ø Mendalami
serta mengikuti perkembangan tentang persyarikatan Muhammadiyah
Ø Siap
untuk dijadikan kader Muhammadiyah
sebagai generasi penerus Persyarikatan Muhammadiyah.
Ø Ikut
mendukung setiap kebijakan-kebijakan Muhammadiyah yang tidak menyimpang dengan
ketentuan syariat islam.
Ø Kemudian
untuk jangka waktu yang akan datang, Karena saya berada di bidang pendidikan,
yaitu Pendidikan Agama Islam, maka saya bisa berkontribusi kepada Persyarikatan
Muhammadiyah dengan melalui bidang pendidikan, seperti lebih
mementingkan/mengutamakan mengajar di Lingkungan Muhammadiyah daripada di
sekolah umum. Dengan tujuan untuk membentuk kader-kader Muhammadiyah yang lebih
baik.
Ø Ikut
menyebarkan, mensosialisasikan/ mengenalkan muhammadiyah kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar