Kamis, 11 Januari 2018

BerISLAM Menurut Muhammadiyah

Al-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAH
Paper ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah : Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Dosen Pengampu : Afga Siddiq R.




Disusun oleh :
Nur Rochman               : 16.0401.0062


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2016/2017
Soal Ujian Akhir Semester II

1. Bagaimanakah ber islam yang benar  menurut muhammadiyah?
2. Tulislah biografi tokoh muhammadiyah yang kamu kagumi dan kontribusinya  bagi persyarikatan   muhammadiyah
3. Kontribusi apakah yang akan kamu lakukan untuk muhammadiyah?



Jawaban:
1.      Menurut Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah, agama islam adalaha apa yang diturunkan oleh allah didalam al-quran dan yang tersebut didalam Sunnah yang shahih, berupa perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.
Didalam pengamalannya, seseorang harus mempelajari islam secara tepat. Namun, yang terjadi didalam masyarakat, orang-orang memahami islam hanya ikut-ikutan sesepuh mereka akibatnya, islam yang dikerjakannya pun tidak sesuai dan bahkan menyimpang dari ajaran islam. Hal ini lah yang melatar belakangi K.H Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan tujuan untuk Memurnikan ajaran islam.
KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya “memerlukan ijtihad”.
Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat bahwa  Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam agar  memiliki keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi’ yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan Muhammad Abduh: “al-Muhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah” .
Prinsip-prinsip Utama Pemahaman Agama Islam
Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam:
1.         Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung   di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus memahaminya.
2.         Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.

 Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun.
1.      Mengamalkan al-Quran
Untuk memahami al-Quran – menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam, yaitu: “ijtihad”.
Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’ kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya bernilai “relatif”. Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai “kebenaran” al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang “tafsir atas al-Quran” adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan bahwa Manusia akan “sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus menghasilkan kebenaran absolut”, karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah:
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala [dari kebajikan] yang diusahakannya dan ia mendapat siksa [dari kejahatan] yang dikerjakannya… (QS al-Baqarah, 2: 286)
Akhirnya, kita pun harus sadar bahwa tidak akan ada pendapat (hasil pemahaman al-Quran) yang pasti benar. Tetapi sekadar “mungkin benar”.
2.      Mengamalkan Ajaran Islam Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah
Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w.
Persoalannya sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam menerjemahkannya (as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun sering melakukan kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada kutub ekstrem “tekstual”, atau “rasional” yang mengarah pada kontekstualisasi yang eksesif (berlebihan).
Untuk itu, menurut pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun kearifan” menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti – misalnya – apa yang dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam Kontekstual” yang dilakukan – misalnya — oleh Yusuf al-Qaradhawi, dengan berbagai modifikasi yang diperlukan.
3.      Berislam Secara Dewasa
Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang proporsional.
Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”.
Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih) operasional.
Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs.
Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linear atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan “reinterpretasi” baik yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif.
Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus vertikal”.


2.      Tokoh Muhammadiyah:
K.H Fakih Usman (1968-1971)
Kyai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia berasal dari keluarga santri sederhana dan taat beribadah. Faqih Usman merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar di pondok pesantren di Gresik tahun 1914-1918. Kemudian, antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik. Dengan demikian, ia juga banyak mengua­sai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemer­dekaan. Apalagi, pada penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
   Faqih Usman dikenal memiliki etos enter­preneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang dilakukannya cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat sebagai Ketua Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu Cabang Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena kepiawaiannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih sebagai salah seorang staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.
   Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengem­bangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulan­nya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.
Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan.
   Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang.
Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
   Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah yang menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya.
   Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan KHA. Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan Kepribadian Muham­madiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
Kontribusi K.H Fakih Usman terhadap Muhammadiyah
•    Menjabat ketua ranting Muhammadiyah Gresik.
•    Kemudian memimpin cabang Muhammadiyah di Gresik.
•    Menjabat Konsul Muhammadiyah surabaya(1926).
•    Ketua PP muhammadiyah (1969-1971).
• Dirumuskannya”Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah”


3.      Kontribusi yang akan saya lakukan terhadap Persyarikatan  Muhammadiyah

Ø  Untuk saat ini, sebagai Mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah, saya bisa berkontribusi dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pihak kampus sebagai rasa kepedulian saya terhadap Persyarikatan Muhammadiyah.
Ø  Membayar Infak dengan ikhlas, dengan tujuan untuk membantu berkembangnya Muhammadiyah di Indonesia.
Ø  Mendalami serta mengikuti perkembangan tentang persyarikatan Muhammadiyah
Ø  Siap untuk dijadikan kader Muhammadiyah  sebagai generasi penerus Persyarikatan Muhammadiyah.
Ø  Ikut mendukung setiap kebijakan-kebijakan Muhammadiyah yang tidak menyimpang dengan ketentuan syariat islam.
Ø  Kemudian untuk jangka waktu yang akan datang, Karena saya berada di bidang pendidikan, yaitu Pendidikan Agama Islam, maka saya bisa berkontribusi kepada Persyarikatan Muhammadiyah dengan melalui bidang pendidikan, seperti lebih mementingkan/mengutamakan mengajar di Lingkungan Muhammadiyah daripada di sekolah umum. Dengan tujuan untuk membentuk kader-kader Muhammadiyah yang lebih baik.
Ø  Ikut menyebarkan, mensosialisasikan/ mengenalkan muhammadiyah kepada masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Tentang, Aku, Kau dan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم   Syarat-syarat mencari ilmu اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِب...

Popular