Kamis, 11 Januari 2018

HAKIM, MAHKUM FIIH, MAHKUM ‘ALAIH

HAKIM, MAHKUM FIIH, MAHKUM ‘ALAIH
Oleh : Nur Rochman[1]

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalahtentang hukum syar’i.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu hakim, Mafkum Fiih, dan Mafkhum ‘alaih
2.      Untuk mengetahui macam-macam Mafkum Fiih dan Mafkhum ‘alaih dalam islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A.       HAKIM

Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini ialah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').. Hakim secara etimologi memiliki dua pengertian, yaitu

وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
 “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.
Pengertian hukum menurut ulama ushul fiqh ialah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim ialah Allah.  Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim ialah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah, karena hukum menurut mereka ialah khitab (pernyataan) al syari’( Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun hukum wadli (sebab, syarat, dan mani’).
Dari sini jelas pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan membuat hukum ialah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia Mereka ialah para rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah sampai kepada manusia, maka disini tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mereka ialah Allah SWT. Yang menjadi perselisihan ialah tentang siapakah yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus. Dengan kata lain sebelum rasul diutus, bagaimana kriteria baik buruknya suatu perbuatan.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, baik berdasar pada hakikat atau sifat perbuatan itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik dari perbuatan itu bila mengandung keuntungan, perbuatan jelek karena mengandung madharat.
Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum diutusnya rasul dan seruannya sampai kepada seseorang atau komunitas, seluruh perbuatan mukallaf tidak diberi hukum. Artinya pada perbuatan itu tidak berlaku sanksi atau pahala. Berbuat baik tidak ada pahala dan berbuat jahat tidak ada sanksi padanya. Baik menurut golongan ini ialah perbuatan yang mukallaf diperintahkan untuk melaksanakannya oleh syari’ dan perbuatan buruk ialah yang dilarang melakukannya oleh syari’. Dengan lain ungkapan penentuan baik buruk sebuah perbuatan itu oleh syari’ (Allah SWT), bukan akal manusia.

B.       MAHKUM FIIH (SUBJEK HUKUM)

1.   Pengertian

Secara Etimologi mahkum fih adalah obyek hukum, artinya suatu perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syari. Sedangkan secara istilah, mahkum fih adalah baik itu perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf yang dapat dinilai hukumnya. Jadi, mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang menjadi objek dari hukum syara.[2]
Setiap hukum dari syari harus berhubungan dengan perbuatan mukallaf  baik itu sebuah tuntutan, pilihan, atau penetapan. Namun, menurut fuqaha, tidak semua perbuatan hukum dapat disebut sebagai mahkum fih. Jadi, untuk mengetahui perbuatan mukallaf tersebut mahkum fih atau tidak, para fuqaha menetapkan beberapa syarat.

2.    Syarat-Syarat Mafkhum Fiih

Allah tidak akan membebani seorang hamba melebihi kemampuannya. Karena Allah maha Adil dan Bijaksana. Para Ulama sepakat tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan untuk di taklif, yaitu:
1)             Perbuatan itu harus diketahui oleh mukallaf secara sempurna. Sempurna yang dimaksudkan yaitu mengetahui tentang rukun, syarat, dan sebagainya. Berdasarkan hal ini, nash nash yang mujmal tidak sah mentaklifikannya pada mukallaf , kecuali jika telah dijelaskan rasulullah kita dapat melanjutkannya.
2)             Diketahui bahwa tuntutan itu datang dari otoritas yang berwenang dalam hukum dan dari orang yang wajib diikuti pentaklifannya. Yang dimaksud pengetahuan mukallaf terhadap yang ditaklifinnya adalah kemungkinan untuk mengetahuinnya, bukan pengetahuan secara langsung.
3)             Perbuatan itu memungkinkan dikerjakan /ditinggalkan, konsekuensinya:
a.         Tidak boleh ada taklif yang mustahil. Baik itu mustahil secara substansinya atau mustahil karena sesuatu lainnya (menurut adat). Mustahil secara substansi adalah sesuatu yang tidak masuk akal, yaitu sesuatu yang tidak bisa terbayangkan oleh akal tentang kebaradaannya. Misalnya, pewajiban dan pengharaman dalam satu waktu, satu tempat, dan satu masalah. Sedangkan mustahil karena
sesuatu lainnya (menurut adat) adalah sesuatu yang terbayangkan oleh akal namun tidak diterima oleh adat dan hukum alam. Misalnya, adanya tanaman tanpa ada bibitnya.
b.        Tidak sah melaksanakan perbuatan atas nama orang lain karena itu bukan taklif untuknya, sehingga tidak ada pertanggungjawab terhadap perbuatannya. Segala sesuatu yang ditaklifkan pada manusia yang dikhususkan pada orang lain adalah nasehat, amar m’ruf dan melarang yang munkar

3.    Macam-macam Mahkum Fiih

1)       Jika ditinjau dari keberadaan materialnya dan syara’ Mahkum Fiih dibagi menjadi tiga,
a.              Perbuatan Materiil yang tidak termasuk perbuatan  dengan syara’. seperti Makan, Minum, dll
b.             perbuatan secara material dan menjadi hukum syara’. misalnya pencuri, perzinaan, dan lain-lain
c.              perbuatan secara material ada dan diakui oleh syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lainnya. misalnya pernikahan, jual beli, dan lain-lain.
2)      Jika dilihat dari hak yang terdapat didalam perbuatan itu, terdapat 4 jenis Mahkum fiih, yaitu:
a.              Semata mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut pada kemaslahatan umum.
b.             Semata mata hak hamba, yaitu yang menyangkut hak pribadi seseorang, seperti ganti rugi barang yang rusak. Seperti hukuman qazaf.
c.              Kompromi antara hak Allah dan hak Hamba, tetapi hukum Allah lebih menonjol.[3]

C.       MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)

1.      Pengertian

Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukalaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah orang mukalaf yang perbuatannya menjadu tempat berlakunya hukum allah.[4]
Dinamakannya mukalaf  sebagai mahkum alaih adalah karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara’. Ringkasnya yang dinamakan mahkum alaih adalah orang atau si mukalaf itu sendiri. sedangkan perbuatannya disebut mahkum biih.

2.      Syarat-syarat Mahkum Alaih

Ada dua persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang mukalaf sah di taklifi.
1)             Orang tersebut memahami dalil-dalil taklifi (pembebanan) itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya. Kemampuan memahami dalil-dalil taklif hanya dapat terwujud dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Oleh karena akal adalah hal yang tersembunyi dan sulit diukur, maka menyangkutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang tidak baligh dan tidak keliatan cacat akalnya berarti ia telah cukup kemampuan untuk ditaklifi. Berdasarkan hal di atas anak-anak atau orang gila tidak dikenai taklif tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk. Sebab dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.
a.         Orang tersebut “ahli”, disini berarti layak dan pantas. Contohnya seperti seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab mengurus harta wakaf.[5] Ahli yang dimaksud sendiri terdiri dari dua bagian antara lain:
a)             Ahliyatul wujub adalah kepantasan seseorang untuk memenuhi hak dan kewajiban
-         yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterima dari orang lain
-         kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.[6]
jadi Ahliyatul Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.[7] Dasar kepututsan itu ialah kemanusiaan. oleh karena itu, laki-laki, perempuan, baik janin bayi maupun baligh, sakit atau sehat, gilau atau waras/sehat otaknya ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wujub.
b)             Ahliyatul Ada’a adalah kepantasan seseorang mukalaf  untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan perbuatan nya dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib,maka syara menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan Ahliyatul ada’a ialah tanmyiz. oleh karena itu  manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada’a adalah manusia yang mumayiz saja.

3.      Taklif

Selanjutnya dipermasalahkan apakah Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain apakah non muslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdappat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i adalah: Imam Syafi’i, ulama yang bermadzhab Hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syariat seperti ibadah shalat, puasa dan haji. Artinya meskipun mereka tidak sah niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melaksanakan ibadah itu sebagaimana berlaku terhadap mukallaf lainnya

4.      Ahliyyah

Secara harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya yang memiliki kemampuan  dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna  jasmani dan akalnya, seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demi kian, jual belinya, hibbahnya dan lain-lain dianggap sah.Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[8]
Para ulama membagi Ahliyyah menjadi dua bentuk, yaitu
a.          Ahliyah Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima hak. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wujub. Ditinjau dari segi ahliyatul-wujub, manusia itu terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a)       Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu ketika seorang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah al-wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
Para ulama’ushul fiqh menetapkan ada empat hak dari seorang janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu:
1.        Hak keturunan dari ayahnya
                  2.  Hak warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia, dalam kaitan ini bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena jika ia seorang laki-laki maka bagianya lebih besar dari seorang wanita, apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris lain,
                  3.     Wasiat yang ditujukan kepadanya,
                  4.     Harta waqaf yang ditujukan kepadanya,

b)      Ahliyyah al-wujub al-kamilah
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.
Contoh ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah anak yang baru lahir, ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya. Demikian pula orang yang sedang sekarat, disamping ia berhak menerima harta warisan dari orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal.[9]
c)       Ahliyah al-Ada’
adalah kepantasan seorang untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan perbuatannya dengan pengertian apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur dari padanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyah ada’ adalah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong pada ahliyah ada’ hanyalah manusia yang mumayiz saja.[10]
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
d)       ‘adim al-ahliyyah atau tidak cakap sama sekali,
yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapanya pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukanya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
e)      Ahliyyah al-ada’naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa









BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pengertian hukum menurut ulama ushul fiqh ialah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim ialah Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim ialah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah.
Secara Etimologi mahkum fih adalah obyek hukum, artinya suatu
perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syari. Sedangkan secara
istilah, mahkum fih adalah baik itu perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf
yang dapat dinilai hukumnya. Jadi, mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang
menjadi objek dari hukum syara.
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukalaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah orang mukalaf yang perbuatannya menjadu tempat berlakunya hukum allah.



DAFTAR PUSTAKA

Koto,Alaidin.2004.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Raja Grafindo Persada:Jakarta
Chaerul Umam, dkk..2000.Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, hal. 329
Bakry,Nazar.1993.Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Syarifuddin,Amir.1997.Ushul Fiqh Jilid.Ciputat: PT Logos
Bakry, Nazar.1993.Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta:Raja Prafindo Perasada
Arti, Sugi. Makalah Hakim, Mahkum Fiih dan Mahkum ‘Alaih.dalam http://makalah-ugi.blogspot.co.id/2014/05/hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html  29 November 217 (03:17)




[1] Mahasiswa PAI UMMagelang Semester 3
[2] Koto,Alaidin.2004.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Raja Grafindo Persada:Jakarta. hal.154
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] ibid
[6] Drs. Chaerul Umam, dkk..2000.Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, hal. 329
[7] Bakry,Nazar.1993.Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. hal 163
[8] ibid
[9] Amir Syarifuddin.1997.Ushul Fiqh Jilid.Ciputat: PT Logos, hal 358.
[10] Nazar Bakry.1993.Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta:Raja Prafindo Perasada, hal 163.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Tentang, Aku, Kau dan Ilmu

بسم الله الرحمن الرحيم   Syarat-syarat mencari ilmu اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِب...

Popular