HAKIM, MAHKUM FIIH,
MAHKUM ‘ALAIH
Oleh : Nur Rochman[1]
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Atas dasar bahwa hukum
syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka
dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya
itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian
ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga
sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk
menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui
bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak
pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri
seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih
eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami
masalah-masalahtentang hukum syar’i.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
apa itu hakim, Mafkum Fiih, dan Mafkhum ‘alaih
2.
Untuk mengetahui
macam-macam Mafkum Fiih dan Mafkhum ‘alaih dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIM
Di antara
masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam,
ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang
Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan
membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Yang
dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan),
tetapi Al Hakim di sini ialah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas
perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').. Hakim secara
etimologi memiliki dua pengertian, yaitu
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber
hukum”.
الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
“Yang
menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.
Pengertian hukum
menurut ulama ushul fiqh ialah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim ialah Allah. Para ulama telah
sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim ialah Allah SWT dan tidak ada
syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah, karena hukum menurut
mereka ialah khitab (pernyataan) al syari’( Allah) yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun hukum wadli (sebab,
syarat, dan mani’).
Dari sini jelas
pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan membuat hukum ialah Allah
SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya.
Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia
Mereka ialah para rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.
Ketika rasul
sudah diutus dan seruannya telah sampai kepada manusia, maka disini tidak ada
perbedaan pendapat bahwa yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mereka ialah
Allah SWT. Yang menjadi perselisihan ialah tentang siapakah yang menjadi
al-hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus. Dengan kata lain
sebelum rasul diutus, bagaimana kriteria baik buruknya suatu perbuatan.
Golongan Mu’tazilah
berpendapat bahwa sebelum diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim,
karena akal manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, baik
berdasar pada hakikat atau sifat perbuatan itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik
dari perbuatan itu bila mengandung keuntungan, perbuatan jelek karena
mengandung madharat.
Golongan Asy’ariyah
berpendapat bahwa sebelum diutusnya rasul dan seruannya sampai kepada seseorang
atau komunitas, seluruh perbuatan mukallaf tidak diberi hukum. Artinya pada
perbuatan itu tidak berlaku sanksi atau pahala. Berbuat baik tidak ada pahala
dan berbuat jahat tidak ada sanksi padanya. Baik menurut golongan ini ialah
perbuatan yang mukallaf diperintahkan untuk melaksanakannya oleh syari’ dan
perbuatan buruk ialah yang dilarang melakukannya oleh syari’. Dengan lain
ungkapan penentuan baik buruk sebuah perbuatan itu oleh syari’ (Allah SWT),
bukan akal manusia.
B.
MAHKUM
FIIH (SUBJEK HUKUM)
1.
Pengertian
Secara Etimologi
mahkum fih adalah obyek hukum, artinya suatu perbuatan mukalaf yang berhubungan
dengan hukum syari. Sedangkan secara istilah, mahkum fih adalah baik itu
perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf yang dapat dinilai hukumnya. Jadi,
mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang menjadi objek dari hukum syara.[2]
Setiap hukum
dari syari harus berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik itu sebuah tuntutan, pilihan, atau
penetapan. Namun, menurut fuqaha, tidak semua perbuatan hukum dapat disebut sebagai
mahkum fih. Jadi, untuk mengetahui perbuatan mukallaf tersebut mahkum fih atau
tidak, para fuqaha menetapkan beberapa syarat.
2. Syarat-Syarat Mafkhum Fiih
Allah tidak akan membebani seorang
hamba melebihi kemampuannya.
Karena Allah maha Adil dan Bijaksana. Para Ulama sepakat tiga syarat untuk
sahnya suatu perbuatan untuk di taklif, yaitu:
1)
Perbuatan itu
harus diketahui oleh mukallaf secara sempurna. Sempurna yang dimaksudkan yaitu
mengetahui tentang rukun, syarat, dan sebagainya. Berdasarkan hal ini, nash
nash yang mujmal tidak sah mentaklifikannya pada mukallaf , kecuali jika telah
dijelaskan rasulullah kita dapat melanjutkannya.
2)
Diketahui bahwa tuntutan itu datang
dari otoritas yang berwenang dalam hukum dan
dari orang yang wajib diikuti pentaklifannya. Yang dimaksud pengetahuan mukallaf terhadap yang ditaklifinnya
adalah kemungkinan untuk
mengetahuinnya, bukan pengetahuan secara langsung.
3)
Perbuatan itu memungkinkan dikerjakan /ditinggalkan,
konsekuensinya:
a.
Tidak boleh ada taklif yang
mustahil. Baik itu mustahil secara substansinya atau mustahil karena sesuatu
lainnya (menurut adat). Mustahil secara substansi adalah sesuatu yang
tidak masuk akal, yaitu sesuatu yang tidak bisa terbayangkan oleh akal tentang kebaradaannya.
Misalnya, pewajiban dan pengharaman dalam satu waktu, satu tempat, dan satu
masalah. Sedangkan mustahil karena
sesuatu lainnya (menurut adat) adalah sesuatu yang terbayangkan oleh akal namun tidak diterima oleh adat dan hukum alam. Misalnya, adanya tanaman tanpa ada bibitnya.
sesuatu lainnya (menurut adat) adalah sesuatu yang terbayangkan oleh akal namun tidak diterima oleh adat dan hukum alam. Misalnya, adanya tanaman tanpa ada bibitnya.
b.
Tidak sah melaksanakan perbuatan atas nama orang lain
karena itu bukan taklif
untuknya, sehingga tidak ada pertanggungjawab terhadap perbuatannya. Segala
sesuatu yang ditaklifkan pada manusia yang
dikhususkan pada orang lain adalah nasehat, amar m’ruf dan melarang yang munkar
3. Macam-macam Mahkum Fiih
1)
Jika ditinjau dari keberadaan materialnya dan
syara’ Mahkum Fiih dibagi menjadi tiga,
a.
Perbuatan
Materiil yang tidak termasuk perbuatan
dengan syara’. seperti Makan, Minum, dll
b.
perbuatan secara
material dan menjadi hukum syara’. misalnya pencuri, perzinaan, dan lain-lain
c.
perbuatan secara
material ada dan diakui oleh syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang
lainnya. misalnya pernikahan, jual beli, dan lain-lain.
2)
Jika dilihat
dari hak yang terdapat didalam perbuatan itu, terdapat 4 jenis Mahkum fiih,
yaitu:
a.
Semata mata hak
allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut pada kemaslahatan umum.
b.
Semata mata hak hamba, yaitu yang
menyangkut hak pribadi seseorang,
seperti ganti rugi barang yang rusak. Seperti hukuman qazaf.
c.
Kompromi antara
hak Allah dan hak Hamba, tetapi hukum Allah lebih menonjol.[3]
C.
MAHKUM
ALAIH (SUBJEK HUKUM)
1.
Pengertian
Yang dimaksud
dengan Mahkum Alaih adalah mukalaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum
syar’i atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah orang mukalaf yang
perbuatannya menjadu tempat berlakunya hukum allah.[4]
Dinamakannya
mukalaf sebagai mahkum alaih adalah
karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara’. Ringkasnya yang dinamakan
mahkum alaih adalah orang atau si mukalaf itu sendiri. sedangkan perbuatannya
disebut mahkum biih.
2. Syarat-syarat Mahkum Alaih
Ada dua
persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang mukalaf sah di taklifi.
1)
Orang tersebut
memahami dalil-dalil taklifi (pembebanan) itu dengan sendirinya, atau dengan
perantaraan orang lain. Orang yang tidak mampu memahami dalil-dalil itu tidak
mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya. Kemampuan memahami dalil-dalil
taklif hanya dapat terwujud dengan akal, karena akal adalah alat untuk
mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Oleh karena akal adalah hal yang tersembunyi
dan sulit diukur, maka menyangkutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat
anggapan adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang tidak baligh dan tidak
keliatan cacat akalnya berarti ia telah cukup kemampuan untuk ditaklifi. Berdasarkan
hal di atas anak-anak atau orang gila tidak dikenai taklif tersebut. Begitu
juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk. Sebab dalam keadaan demikian
mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.
a.
Orang tersebut
“ahli”, disini berarti layak dan pantas. Contohnya seperti seseorang dikatakan
ahli untuk mengurus wakaf berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab
mengurus harta wakaf.[5]
Ahli yang dimaksud sendiri terdiri dari dua bagian antara lain:
a)
Ahliyatul wujub
adalah kepantasan seseorang untuk memenuhi hak dan kewajiban
-
yang dimaksud
dengan hak adalah sesuatu yang harus diterima dari orang lain
-
kewajiban adalah
sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.[6]
jadi Ahliyatul Wujub adalah kepantasan
seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada
orang lain.[7] Dasar kepututsan itu ialah
kemanusiaan. oleh karena itu, laki-laki, perempuan, baik janin bayi maupun
baligh, sakit atau sehat, gilau atau waras/sehat otaknya ditinjau dari
kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wujub.
b)
Ahliyatul Ada’a
adalah kepantasan seseorang mukalaf
untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan perbuatan nya dengan
pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib,maka syara menilai bahwa
kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya tuntutan itu. Sebagai dasar
untuk menentukan Ahliyatul ada’a ialah tanmyiz. oleh karena itu manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada’a
adalah manusia yang mumayiz saja.
3.
Taklif
Selanjutnya
dipermasalahkan apakah Islam merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum.
Dengan kata lain apakah non muslim dengan
kekafirannya itu dituntut untuk
melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdappat perbedaan pendapat
dikalangan ulama’.
Ulama yang
berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan
tercapainya syarat syar’i adalah: Imam Syafi’i, ulama yang bermadzhab Hanafi
dan mayoritas dari kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa
orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syariat seperti
ibadah shalat, puasa dan haji. Artinya meskipun mereka tidak sah niatnya karena
tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melaksanakan ibadah itu sebagaimana
berlaku terhadap mukallaf lainnya
4.
Ahliyyah
Secara harfiyah,
ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya yang memiliki
kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang
tersebut.
Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa
seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, seluruh tindakannya dapat
dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah
sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima
hak dari orang lain. Dengan demi kian, jual belinya, hibbahnya dan lain-lain
dianggap sah.Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab,
seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[8]
Para ulama
membagi Ahliyyah menjadi dua bentuk, yaitu
a.
Ahliyah Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima hak. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena
itu sesama manusia laki-laki perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila
ataupun waras, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah
ahliyatul wujub. Ditinjau dari segi ahliyatul-wujub, manusia itu terbagi kepada
dua bagian, yaitu:
a)
Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu ketika seorang masih berada dalam kandungan
ibunya(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah al-wujub yang
belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi
miliknya sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk sesaat.
Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya.
Para ulama’ushul fiqh
menetapkan ada empat hak dari seorang janin yang masih dalam kandungan ibunya,
yaitu:
1.
Hak keturunan dari ayahnya
2. Hak
warisan dari ahli warisnya yang meninggal dunia, dalam kaitan ini bagian harta
yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima,
karena jika ia seorang laki-laki maka bagianya lebih besar dari seorang wanita,
apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan warisan yang disisakan itu
dikembalikan kepada ahli waris lain,
3. Wasiat
yang ditujukan kepadanya,
4. Harta
waqaf yang ditujukan kepadanya,
b) Ahliyyah
al-wujub al-kamilah
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak.
Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih
bernafas.
Contoh ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah
anak yang baru lahir, ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua
atau kerabatnya. Demikian pula orang
yang sedang sekarat, disamping ia berhak menerima harta warisan dari orang tua
atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal.[9]
c)
Ahliyah al-Ada’
adalah
kepantasan seorang untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan perbuatannya
dengan pengertian apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’
menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur dari padanya tuntutan itu.
Sebagai dasar untuk menentukan ahliyah ada’ adalah tamyiz. Oleh karena itu
manusia yang tergolong pada ahliyah ada’ hanyalah manusia yang mumayiz saja.[10]
Kecakapan
berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat
ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah:
d)
‘adim al-ahliyyah atau tidak cakap
sama sekali,
yaitu
manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7
tahun. Perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapanya pun
tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukanya dinyatakan
tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
e)
Ahliyyah
al-ada’naqishah atau cakap
berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur
tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian hukum menurut ulama ushul fiqh ialah Firman
Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa
al-Hakim ialah Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa
al Hakim ialah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah
melainkan dari Allah.
Secara Etimologi mahkum fih adalah
obyek hukum, artinya suatu
perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syari. Sedangkan secara
istilah, mahkum fih adalah baik itu perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf
yang dapat dinilai hukumnya. Jadi, mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang
menjadi objek dari hukum syara.
perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syari. Sedangkan secara
istilah, mahkum fih adalah baik itu perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf
yang dapat dinilai hukumnya. Jadi, mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang
menjadi objek dari hukum syara.
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah
mukalaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i atau dengan kata
lain, mahkum alaih adalah orang mukalaf yang perbuatannya menjadu tempat
berlakunya hukum allah.
DAFTAR PUSTAKA
Koto,Alaidin.2004.Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih.Raja Grafindo Persada:Jakarta
Chaerul Umam, dkk..2000.Ushul Fiqih I, CV.
Pusaka Setia, Bandung, hal. 329
Bakry,Nazar.1993.Fiqh
dan Ushul Fiqh.Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada
Syarifuddin,Amir.1997.Ushul Fiqh Jilid.Ciputat:
PT Logos
Bakry, Nazar.1993.Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta:Raja
Prafindo Perasada
Arti, Sugi. Makalah Hakim, Mahkum Fiih dan Mahkum ‘Alaih.dalam http://makalah-ugi.blogspot.co.id/2014/05/hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html 29 November 217 (03:17)
[1]
Mahasiswa PAI UMMagelang Semester 3
[2] Koto,Alaidin.2004.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Raja Grafindo
Persada:Jakarta. hal.154
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] ibid
[6] Drs.
Chaerul Umam, dkk..2000.Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung,
hal. 329
[7] Bakry,Nazar.1993.Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada. hal 163
[8] ibid
[9] Amir
Syarifuddin.1997.Ushul Fiqh Jilid.Ciputat: PT Logos, hal 358.
[10] Nazar Bakry.1993.Fiqh
dan Ushul Fiqh.Jakarta:Raja Prafindo Perasada, hal 163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar